Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2014

Glow (Gelo : re)

Temanggung, 27 Juli 2014 As-syamul Akbar Daun Mas Resto. Meja 12. Aku berada di sini, di tempat yang beberapa jam lalu hanya dapat kupijak dalam angan. Ya, begitu jauh! Bahkan bila ditempuh dengan kapal, bisa memakan waktu paling tidak dua hari dua malam. Namun, ajaib! Di sinilah aku sekarang. Di kota ini dan menunggu dia, orang yang mampu menahanku menunggu begitu lama sejak… Entahlah, aku rasa dua jam yang lalu.  Daun Mas Resto malam ini, tidak begitu ramai, sangat kontras dengan jalanan Suwandi Suwardi yang dibanjiri sepeda motor. Malam takbir memang selalu ramai, pikirku, tidak peduli di Ketapang ataupun di sini. Akhirnya, aku benar-benar melihat dia datang. Bola matanya berputar sejenak dan berhenti ketika tatapan kami bertemu satu sama lain.  “Aduuuuuh, nunggu lama ya, Mas? Maaf tadi macet…” katanya, memasang ekspresi manja agar aku lebih ikhlas karena benar-benar menunggunya selama ini.

TANGEN

Gambar
http://da.wikipedia.org/wiki/Trigonometrisk_funktion “Lukisan adalah mata dari pikiran para pelukisnya 1 ,” katanya, matanya berbinar menatap kanvas berukuran 60 x 100 cm di depan kami. Melukis di atas kanvas adalah hidupnya. Dan hari ini, hari pertama lukisannya dipamerkan di galeri.             Aku menyipitkan mata. Heran. Ternyata bisa bicara juga, ya! Bukankah selama berbulan-bulan ini, dia tidak pernah menganggapku ada? Dasar wanita! Tetap saja semaunya sendiri, tetap saja tidak bisa ditebak.             “Oh ya? Jadi, lukisan ini mata kamu?” tiba-tiba aku ikut tertarik dengan benda dua dimensi ini.             “Ya, kamu benar! Beberapa pelukis melukis apa yang mereka lihat di sekitar mereka dan yang lain melukis apa yang mereka lihat dalam imajinasi. Setiap lukisan memiliki tema, kamu tahu?” Dia benar-benar ahli tentang lukisan.             “Tema? Aku kira kita bebas melukis apa saja yang kita mau,” aku menimpali setahuku.             “Ya, lagi-lagi kamu benar. Ta

Ruang Rindu (terinspirasi dari lagu Ruang Rindu-Letto)

Daun-daun berwarna coklat yang terbakar sinar matahari itu berterbangan di antara kami. Sepertinya angin memang sengaja bertiup biar kesan pertemuan di tempat ini lebih dramatis. Dan agaknya aku memang harus berterima kasih. Hal itu berhasil. Sekonyong-konyong aku kaget dia berada di sini. Menjejakkan kakinya di bumi Sumatra, tepat di depan mataku. Dari ribuan pulau memesona di Indonesia, kenapa harus Sumatra yang dia pilih. Kenapa harus Lampung? Kenapa harus Way Kambas? Dan kenapa harus sekarang saat aku juga berdiri di tempat yang sama. Kami sama-sama diam, membatu bagai arca. “Hai nggak nyangka ketemu kamu di sini. Sama siapa?” tanyaku akhirnya. Dia berdeham. Agaknya menyadarkan diri bahwa yang dilihatnya benar-benar nyata. “Ikutan Adit,” jawabnya singkat. Ah, bodoh! Harusnya aku tahu pertanyaanku adalah sebuah retorika. Sudah jelas dia ke sini pasti membuntuti Adit, pacarnya yang gila travelling itu. “Oh…” sahutku sebiasa mungkin. “Pan, aku duluan ya. Mau bantuin Ad