Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2021

BIRU & JINGGA: Pergi (Part 2)

Gambar
  Credit: Concept art – Kajsa Råsten Jingga Yogyakarta, 12 Januari 2018             Kisah cinta kami baru saja dimulai. Tapi, orang itu sudah harus pergi; dalam artian meninggalkan tanpa meninggalkan. Dia harus pergi meninggalkan Jogja tapi tidak meninggalkan orang Jogja yang dicintainya. Wajar tidak kalau saya berharap salah satu orang Jogja yang tidak ia tinggalkan itu adalah saya?                     Malam ini dua hari sebelum hari keberangkatan Biru. Dia sengaja datang ke kos saya entah membawa apa dalam kantong kresek. Untuk ukuran mantan playboy , bisa dibilang dia memang benar-benar tidak romantis. Namun, saya justru suka ketidak romantisannya itu.                     “Ngga, tunggu saya, ya!” Biru tiba-tiba buka suara setelah kami menuntaskan makan bungkusan kresek yang ternyata berisi nasi goreng. Air mukanya sangat serius, sama seperti hari dia mengakui perasaannya.             Saya tidak sanggup menjawab apa-apa. Hati saya justru sakit. Kata-kata Biru lebih

BIRU DAN JINGGA : PULANG (Part 1)

Gambar
  Biru  Yogyakarta, 3 Desember 2018   Hari ini saya pulang. Seharusnya, saya merasa senang. Tapi, kenyataan bahwa saya harus bertemu orang itu, justru membuat saya bimbang.  Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan. Toh, dia sudah mengetahui semuanya. Apa perlu saya tambah lagi luka hatinya dengan mengulang cerita itu dalam versi saya? Tidak. Menjelaskan hanya akan membuatnya lebih sakit.   Kadang saya pikir, orang yang bersikeras memberi penjelasan sebenarnya adalah orang yang sedang membela diri. Tidak mau disalahkan atas semua yang terjadi. Bertindak seolah-olah dirinya korban. Lalu, tiba-tiba merasa menjadi pihak yang paling terluka.   Di satu sisi, saya juga tidak bisa diam begitu saja, bukan? Banyak orang mengartikan diam sebagai bentuk persetujuan. Dia juga akan sakit kalau saya hanya diam. Lalu, saya harus bagaimana?   Mau bagaimana pun saya, di akhir cerita dia tetap saja terluka. Tiba-tiba, pulang ke Jogja bisa seperih ini. Saya frustasi.           

Perempuan yang Menanggung Dunia dan Seisinya : Pucak Penghianatan (Bagian Akhir)

Gambar
    Puncak semakin dekat namun jalanan semakin terjal. Perempuan itu dapat merasakan butiran pasir di sela-sela jemari kakinya. Butiran pasir ternyata bisa sangat merepotkan, pikirnya. Hampir saja ia tergelincir karena bebatuan kecil dan pasir yang ia pijak tidak sekokoh tanah di bawah sana.       Saat keringat berhasil membuat seluruh badannya basah, perempuan itu akhirnya dapat melihat Puncak Penghianatan. Angin menyapa anak rambut yang ia biarkan terurai. Dengan matanya yang tinggal satu, perempuan itu mencari-cari di sudut manakah ia bisa temukan Gua tempat Sang Juru Cerita tinggal. Namun, ia tidak bisa melihat apapun kecuali bayangan hitam awan kumulo nimbus yang bertengger di atas langit sana.          Perempuan itu lantas duduk di atas sebuah batu. Ia terdiam begitu lama. Tidak ada yang mengganggu pikirannya selain ke mana ia harus mencari rumah Sang Juru Cerita. Aku tidak boleh diam saja, pikirnya. Lalu, ia memutuskan untuk mengelilingi Puncak Penghianatan itu. Sekali, dua kal