Postingan

Menampilkan postingan dari 2021

It's Okay to Cry, It Makes Us Human

  We never know someone's else story. Di masa lalu, saya pernah menjadi seseorang yang sangat gampang untuk menghakimi orang lain dengan ribuan spekulasi dalam kepala saya. Tidak pernah sedikitpun saya memikirkan perasaan orang lain tersebut. Saya selalu memandang dari sisi yang saya yakini tanpa pernah berpikir bahwa bumi ini adalah sebuah dimensi tiga. Berputar 360 derajat dan saya tentu saja tidak bisa melihat seluruhnya.  Saya percaya bahwa setiap manusia mempunyai kisahnya sendiri. Ia berkonflik dan tertatih menapaki setiap alur hidup yang mungkin saja jauh dari yang mereka inginkan. Terkadang hidup menyodorkan tawaran yang sangat sulit untuk mereka pilih. Bukan karena terlalu banyak pilihan tentu saja, namun pilihan manapun yang manusia itu pilih, tetap saja hidup menempatkannya pada jalan pahit yang membuatnya sakit. Dan saat kita menemukan orang itu di ujung jalan dengan nanah, seringkali kita hanya merasa jijik dan ingin segera mengenyahkan penyakit kotor tersebut. Namun,

BIRU & JINGGA: Pergi (Part 2)

Gambar
  Credit: Concept art – Kajsa Råsten Jingga Yogyakarta, 12 Januari 2018             Kisah cinta kami baru saja dimulai. Tapi, orang itu sudah harus pergi; dalam artian meninggalkan tanpa meninggalkan. Dia harus pergi meninggalkan Jogja tapi tidak meninggalkan orang Jogja yang dicintainya. Wajar tidak kalau saya berharap salah satu orang Jogja yang tidak ia tinggalkan itu adalah saya?                     Malam ini dua hari sebelum hari keberangkatan Biru. Dia sengaja datang ke kos saya entah membawa apa dalam kantong kresek. Untuk ukuran mantan playboy , bisa dibilang dia memang benar-benar tidak romantis. Namun, saya justru suka ketidak romantisannya itu.                     “Ngga, tunggu saya, ya!” Biru tiba-tiba buka suara setelah kami menuntaskan makan bungkusan kresek yang ternyata berisi nasi goreng. Air mukanya sangat serius, sama seperti hari dia mengakui perasaannya.             Saya tidak sanggup menjawab apa-apa. Hati saya justru sakit. Kata-kata Biru lebih

BIRU DAN JINGGA : PULANG (Part 1)

Gambar
  Biru  Yogyakarta, 3 Desember 2018   Hari ini saya pulang. Seharusnya, saya merasa senang. Tapi, kenyataan bahwa saya harus bertemu orang itu, justru membuat saya bimbang.  Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan. Toh, dia sudah mengetahui semuanya. Apa perlu saya tambah lagi luka hatinya dengan mengulang cerita itu dalam versi saya? Tidak. Menjelaskan hanya akan membuatnya lebih sakit.   Kadang saya pikir, orang yang bersikeras memberi penjelasan sebenarnya adalah orang yang sedang membela diri. Tidak mau disalahkan atas semua yang terjadi. Bertindak seolah-olah dirinya korban. Lalu, tiba-tiba merasa menjadi pihak yang paling terluka.   Di satu sisi, saya juga tidak bisa diam begitu saja, bukan? Banyak orang mengartikan diam sebagai bentuk persetujuan. Dia juga akan sakit kalau saya hanya diam. Lalu, saya harus bagaimana?   Mau bagaimana pun saya, di akhir cerita dia tetap saja terluka. Tiba-tiba, pulang ke Jogja bisa seperih ini. Saya frustasi.           

Perempuan yang Menanggung Dunia dan Seisinya : Pucak Penghianatan (Bagian Akhir)

Gambar
    Puncak semakin dekat namun jalanan semakin terjal. Perempuan itu dapat merasakan butiran pasir di sela-sela jemari kakinya. Butiran pasir ternyata bisa sangat merepotkan, pikirnya. Hampir saja ia tergelincir karena bebatuan kecil dan pasir yang ia pijak tidak sekokoh tanah di bawah sana.       Saat keringat berhasil membuat seluruh badannya basah, perempuan itu akhirnya dapat melihat Puncak Penghianatan. Angin menyapa anak rambut yang ia biarkan terurai. Dengan matanya yang tinggal satu, perempuan itu mencari-cari di sudut manakah ia bisa temukan Gua tempat Sang Juru Cerita tinggal. Namun, ia tidak bisa melihat apapun kecuali bayangan hitam awan kumulo nimbus yang bertengger di atas langit sana.          Perempuan itu lantas duduk di atas sebuah batu. Ia terdiam begitu lama. Tidak ada yang mengganggu pikirannya selain ke mana ia harus mencari rumah Sang Juru Cerita. Aku tidak boleh diam saja, pikirnya. Lalu, ia memutuskan untuk mengelilingi Puncak Penghianatan itu. Sekali, dua kal

Perempuan yang Menanggung Dunia dan Seisinya: Padang Kesedihan

Gambar
      Napasnya memberat. Ia sadar bahwa kesengsaraan yang baru saja ia gendong bukan hanya membebani tubuhnya tapi juga jiwa perempuan itu. Tak apa, katanya pada dirinya sendiri. Kesengsaraan yang ia tanggung tidak sebanding dengan kebahagiaan yang telah ia bagi pada Si Kura-kura Tua. Dalam imajinasinya, ia seolah bisa melihat lengkung bibir Si Kura-kura tua yang dengan bebas menyelam lautan luas tanpa perlu lagi memikirkan cangkang yang membelenggunya. Sekali lagi, ia yakin pilihannya tidak mungkin salah.     Di balik punggung kesengsaraan, ia telah meninggalkan bukit yang pohonnya mungkin akan tumbuh saat rintik hujan lokal menyiram langit gunung. Sedang di hadapannya kini, ia dapat melihat sebuah tempat yang luas. Anak perempuan itu lantas menyimpulkan bahwa ia telah sampai pada pemberhentian selanjutnya. Ya, ia telah menapaki Padang Kesedihan. Entah cerita sedih macam apalagi yang akan ia dengarkan kali ini. Ia harus mempersiapkan diri.     Padang itu sangat berisik. Terdengar suar

Perempuan yang Menanggung Dunia dan Seisinya: Bukit Kesengsaraan

Gambar
     Perempuan itu berjalan dengan terseok-seok. Ia benar-benar harus berhati-hati menapak jalanan di depannya. Dengan matanya yang tersisa, ia bersusah payah memandang dunia tidak hanya dari satu sisi. Seperti halnya jalan bebatuan yang kini dipijak kaki kecilnya. Ia harus melebarkan matanya yang tinggal satu, mengasah mata kakinya dengan insting agar jalan yang ia tempuh benar-benar mengantarkannya ke tujuan selanjutnya.     Bukit Kesengsaraan. Orang-orang yang mendengar nama bukit itu sudah pasti akan menarik kakinya jauh-jauh. Enggan mengakrabi sumber kesengsaraan yang bahkan sudah memburu hidup mereka tanpa perlu repot-repot didekati. Dahulu, pernah ada seorang pemuda yang nekat mendaki bukit itu. Ia sangat penasaran dengan kesengsaraan dalam hidupnya yang tidak pernah berhenti barang sehari. Minggu sebelumnya, rumahnya hancur terkena badai. Hari berikutnya ternaknya dicuri, sepuluh ekor sapinya hilang tanpa sisa. Belum kering bekas sengsara di dadanya, esoknya ia kehilangan ibu u