Glow (Gelo : re)
Temanggung,
27 Juli 2014
As-syamul
Akbar
Daun Mas Resto.
Meja 12. Aku berada di sini, di tempat yang beberapa jam lalu hanya dapat kupijak
dalam angan. Ya, begitu jauh! Bahkan bila ditempuh dengan kapal, bisa memakan
waktu paling tidak dua hari dua malam. Namun, ajaib! Di sinilah aku sekarang.
Di kota ini dan menunggu dia, orang yang mampu menahanku menunggu begitu lama
sejak… Entahlah, aku rasa dua jam yang lalu.
Daun Mas Resto malam ini, tidak begitu ramai,
sangat kontras dengan jalanan Suwandi Suwardi yang dibanjiri sepeda motor.
Malam takbir memang selalu ramai, pikirku, tidak peduli di Ketapang ataupun di
sini.
Akhirnya, aku
benar-benar melihat dia datang. Bola matanya berputar sejenak dan berhenti
ketika tatapan kami bertemu satu sama lain.
“Aduuuuuh, nunggu lama ya, Mas? Maaf tadi
macet…” katanya, memasang ekspresi manja agar aku lebih ikhlas karena
benar-benar menunggunya selama ini.
“Ya, ampun, Dek.
Kamu sekarang cinta Indonesia banget ya, ngaret-ngaret,”
aku pura-pura kesal.
“Maaaaf…. Tadi
beneran macet suer deh,” jawabnya sambil mengacungkan dua jari membentuk huruf
V.
“Temanggung
macet? Hmhmm, kamu beruntung ya besok lebaran kalau nggak….”
“Kalau nggak
apa? Wuu, Mas Akbar!” gerutunya dengan mulut cemberut.
Namanya Fitria
Suci. Ya, tentu saja, wanita yang berada di depanku saat ini. Wanita dengan
mata indah, senyum manis dan wajah bulat yang dipercantik dengan jilbab warna
pink pastel. Wanita yang selalu memesona. Wanita yang membuatku terbang jauh
melintas luasnya laut Jawa. Dia, Fitria Suci, wanita yang membuatku jatuh berkali-kali
dalam perasaan bernama cinta.
Aku suka sekali
memandangi wajah itu, seperti halnya malam ini. Dia cantik. Aku tersenyum.
Tiba-tiba mata bulatnya menyelidik. Menatap sebal mukaku yang berhias senyum.
Tak mau kalah, aku justru makin memandangnya lekat. Sekarang, wajahnya terlihat
bersungut-sungut. Aku tertawa. Dia sudah kembali.
“Mas Akbar,
jangan senyum-senyum sendiri dong!” protesnya.
Aku tak
menjawab. Malah kulanjutkan senyumku tadi, sengaja menggodanya. Wanita ini,
bahkan saat kesalpun, dia tetap terlihat sangat cantik.
***
Tiga bulan lalu…
Yogyakarta,
April 2014
Fitria
Suci
Hari
ini, dia terlihat…sangat tampan. Wajah cerianya terpancar di bawah birunya
toga. Ah, betapa menyenangkan melihat wajah itu berhias senyum! Aku berdiri di
sini, halaman GOR, menunggu wisudawan terbaik itu keluar gedung dan
menghampiriku.
“Cieee,
yang sekarang udah sarjana cieee,” ledekku.
“Cieee,
yang sekarang nungguin sarjana cieee! Bawain bunga lagi, cieeee,” Mas Akbar
balik meledekku.
Aku
pura-pura merengut dan refleks menyembunyikan setangkai mawar merah di balik
punggungku. Merah. Aku yakin warna itu jugalah yang mendominasi pipiku.
Kuulurkan tangan, memberinya bunga tanpa menatap. Selalu seperti ini, aku salah
tingkah.
“Terima
kasih, Dek Fitria,” ucapnya tulus.
Menit-menit
selanjutnya, berlalu seperti berkendara di jalan tol. Dia mengajakku banyak
mengobrol hari ini. Terutama tentang masa depannya. Mas Akbar bilang, dia ingin
kerja di Yogya. Kota ini mebuatnya jatuh cinta, katanya. Selain itu, dia juga
akan mengambil S-2nya. Dia pasti akan sangat sibuk. Tapi bukankah itu yang aku
ingin? Agar dia tetap di sini…
“Hei,
pacaran mulu! Udah pada poto berdua belum?” Mas Doni – sahabat Mas Akbar,
datang menawarkan jepretan.
Selalu
begini. Hampir semua orang yang melihat kami – aku dan Mas Akbar, mengira bahwa
kami adalah sepasang kekasih. Namun, sebenarnya tidak pernah ada kejelasan dari
hubungan ini. Tidak dariku, tidak pula dari Mas Akbar. Mas Akbar selalu bilang
kalau aku sudah seperti adik baginya. Ya, hanya sebatas adik perempuan.
Hari
ini, kami akhirnya foto bersama untuk pertama kali. Walaupun rasanya canggung
dan harus dipaksa habis-habisan oleh Mas Doni. Hari ini aku mendapatkannya, foto
yang sangat aku inginkan selama tiga tahun.
***
Satu bulan yang
lalu…
Yogyakarta, Juni
2014
Fitria Suci
Aku
tidak pernah melihatnya lagi sejak saat itu. Mas Akbar, pulang ke Kalimantan bersama
kedua orang tuanya dan belum kembali sampai hari ini. Dia, benar-benar
menyebalkan, bahkan dia tak mau membalas sms,
telepon atau chat dariku. Aku
benar-benar ingin sekali marah padanya, ingin menuduhnya mencampakkanku. Tapi
bukankah kami memang bukan sepasang kekasih sejak dari awalnya?
“Seminngu
setelah Akbar wisuda, ibunya kena serangan jantung, Fit. Dan tadi aku dapat
kabar dari Aisyah, anak hukum yang juga tetangganya Akbar, ibu Akbar meninggal
semalam,” Mas Doni menghela napas.
Innalillahiwainnailaihirojiun…
Aku bisa
mengerti kesedihan Mas Akbar, kehilangan seorang ibu pasti membuat dunianya
seakan runtuh. Tapi, apa aku tidak berhak mendengar kabar apapun langsung dari
Mas Akbar sendiri? Walaupun aku memang bukan kekasihnya, tapi aku rasa akulah
orang yang paling dekat dengan Mas Akbar selama ini. Aku benar-benar
menghawatirknnya, sangat…
Aku terisak,
bayangan wajah Mas Akbar menari-nari di pelupuk mata. Mas Doni terlihat
kebingungan, akhirnya menyentuh pundakku pelan. Sabar… Akbar akan baik-baik saja. Mungkin begitu kiranya maksud
sentuhan Mas Doni. Sempat aku bilang mau menyusul Mas Akbar ke Kalimantan, tapi
Mas Doni buru-buru menasihatiku agar tidak gegabah.
Helaan napas
panjang menyela obrolan kami sore ini. Aku sudah agak tenang. Pasti ada alasan
kuat kenapa Mas Akbar tidak memberitahuku secara langsung. Pasti, pasti akan
ada suatu penjelasan suatu hari nanti.
“Kamu udah agak
tenang, Fit?” tanya Mas Doni.
Aku mengangguk.
“Fit, sebenernya
ada hal lain tentang Akbar yang mau kuberitahu. Fit, Akbar….”
Lanjutan kalimat
Mas Doni benar-benar membuatku lumpuh. Mati rasa. Aku mencoba menahan tangis
sejadi-jadinya. Tapi, kenyataannya aku menangis sampai tak bersuara. Mas Doni
menatapku, prihatin. Selanjutnya yang kuingat, aku memukul-mukul dada Mas Doni
yang basah terguyur badai dari wajahku.
***
Ketapang,
Juni 2014
As-syamul
Akbar
Ku dengar, sejak
saat itu, dia tidak pernah sepenuhnya sadar apa yang dia lakukan. Doni bilang,
dia seperti zombie. Ikut kegiatan sana-sini dan belajar gila-gilaan setiap
hari. Dia pasti menderita. Fitria sayang, maafkan aku. Ingin sekali aku
menemanimu di sana, memberi pelukan hangat untuk menenangkanmu. Tapi ragaku
terpenjara di pulau ini.
“Kasian dia,
Bro, badannya sekarang tambah kurus. Mana jadi pendiem plus agak judes. Lo
nggak boleh kayak gini lari dari kenyataan, temuin dia ajak ngomong baik-baik,”
kata-kata Doni tempo hari berulang kali kurapalkan.
Benar, Doni
benar! Aku menyayangi Fitria walaupun belum pernah secara langsung aku
ungkapkan. Tapi bukankah kedekatan kami selama ini sudah lebih dari cukup untuk
menggambarkan rasa sayang tanpa perlu diucapkan?
Fitria sayang,
sekali lagi maaf. Sudah berkali-kali ingin rasanya aku menghubungimu dan
mendengar suara manjamu, tapi aku tak cukup berani untuk melakukan itu
sekarang. Dan, tentu saja hal ini membuatku sangat tersiksa.
“Mas Akbar, ayo
kita berangkat! Kita udah hampir telat nih,” suara itu terdengar benar-benar
menyebalkan.
Aku mendesah.
Tidak menjawab. Hanya mengekor pergi tanpa memungut butir-butir perasaan yang
berceceran. Sabar, Sayang, aku janji pasti akan menemuimu. Segera. Tunggu aku,
Fitria.
***
Temanggung,
27 Juli 2014
Fitria
Suci
Aku
merindukannya setengah mati. Aku rindu Mas Akbar. Dan orang itu sekarang berada
di hadapanku, tersenyum, memesona seperti tiga tahun lalu, seperti tiga bulan
lalu.
Dek, aku di Temanggung nih. Temenin makan yuk,
Daun Mas Resto. Aku tunggu.
Sampai ketemu :D
Butuh
waktu satu jam bagiku untuk mempercayai sms yang sudah berulang kali kubaca itu
benar dari nomor Mas Akbar. Dan, wow, ternyata dia benar nyata di sini. Di
Temanggung, untuk menemuiku. Keajaiban ramadhan benar-benar ada. Aku
menghambur, memeluknya erat-erat agar dia tidak berani lagi pergi-pergi sesuka
hati. Memukul-mukul lengannya, sambil berteriak, Mas Akbar jahat bangeet!!
Ungkapan rindu yang sempurna, dalam imajinasiku. Faktanya, toh aku tidak mampu
untuk sekedar membalas tatapan lelaki ini.
“Mas,
aku turut sedih ibu pergi begitu cepat. Aku dengar dari Mas Doni,” kataku
membelah renyahnya suara tawa Mas Akbar yang meledekku.
“Iya,
Dek. Maaf, kemarin aku nggak sempat kirim kabar ke kamu,” aku lihat Mas Akbar
menunduk lesu. Dia sangat kehilangan. Aku tahu.
Kutatap
meja makan yang penuh dengan makanan yang sudah terlanjur dingin. Tidak tega
rasanya melihatnya seperti ini, aku jadi ingin menangis.
Selanjutnya,
diam benar-benar menguasai medan magnet kami. Aku menunduk, menahan tangis.
Sedangkan dia menatapku dengan tatapan yang belum pernah aku lihat selama tiga
tahun bersamanya. Aku berfirasat. Kami sama tahu apa yang akan segera kami
bicarakan setelah jeda diam yang begitu lama.
“Dek, minggu depan aku akan menikah,” katanya.
Akhirnya kata yang paling aku takutkan itu, benar-benar keluar dari mulutnya.
“Aku
sudah dengar dari Mas Doni,” jawabku.
Hening.
“Dia…
Aisyah wanita yang baik dan paling beruntung. Selamat, Mas. Maaf aku tidak bisa
datang ke sana,” air mataku meleleh. Sudah tidak bisa kutahan lagi. Kutarik
tasku, hendak berdiri dan berlari. Tapi tiba-tiba saja kurasakan tanganku
tertahan. Oh, Tuhan! Dia menahanku.
“Maaf,
Dek. Ini wasiat ibu. Aku tidak punya pilihan,” jelasnya. Dia juga menangis. Aku
bisa merasakan suaranya bergetar. Aku tidak menjawab. Masih tergugu di tempatku
berdiri.
“Aku
mencintaimu Fitria Suci. AKU MENCINTAIMU!!” Kurasakan genggaman tangannya
semakin erat menahanku.
Dia
mencintaiku. Mas Akbar bilang dia mencintaiku. Sakit rasanya mendengar bahwa
dia akan menikahi orang lain sebagai istrinya seumur hidup. Namun, mendengarnya
mengucap mencintaiku… Ya, Tuhan! Kenapa kata mencintai menjadi bom atom yang
meledakkan hati begini?
Aku
tergugu lebih keras. Napasku memburu. Badanku bergetar. Tangannya, masih
memegangiku erat, erat sekali. Suara takbir di sekitaran semakin ramai. Tapi,
di telingaku suara takbir itu seperti suara hatiku. Meneriakkan namamu, Akbar.
Seseorang yang akan selalu aku cintai. Malam ini, di Daun Mas Resto, kami
berdua menangis untuk cinta yang mungkin tidak akan pernah kami miliki satu
sama lain.
Temanggung,
27 Juli 2014
As-syamul
Akbar
Dia,
wanita yang aku cintai menangis di depan mataku. Akhirnya, perasaan ini tidak
bisa lagi kami tutupi. Dia mencintaiku, aku tahu itu sejak lama. Tapi, aku
tidak pernah mengira akan membuatnya terluka seperti ini. Tiba-tiba aku
menggenggam tangannya, menahannya pergi.
“Aku
mencintaimu Fitria Suci. AKU MENCINTAIMU!!” emosiku memuncak. Kugenggam dia
lebih erat agar dia tahu, hatiku mendadak hemofili. Berdarah-darah. Kudengar
tangisnya semakin menjadi. Aku tak tega. Dan untuk pertama kalinya, aku menarik
tubuh kecilnya. Mendekapnya dalam pelukanku bersamaan dengan alunan lagu dari
penyanyi lokal di resto ini.
Hold
me, you shall never ever see me
Peluk aku sekarang, sayang. Aku
menyesal. Kalau saja aku tahu akan menyakitimu seperti ini, mungkin sebaiknya
kita tidak pernah bertemu satu sama lain.
Blankets
will not hesitate me
Flowers
shan’t even wake
Tapi, aku akan kehilangan memoriku
tentang kamu. Aku akan kehilangan setiap malamku untuk memikirkan kamu. Ah, aku
memang terlalu egois bukan? Benar, tidak seharusnya ku biarkan bunga cinta ini
mekar.
Kiss
me, this the last time you may see me
This
the last time light shall harm me
I
shall cry myself to death
Bolehkah aku menciummu sayang?
Malam ini, mungkin terakhir kalinya kamu melihatku menemuimu. Malam ini juga,
mungkin menjadi pertama dan terakhir kalinya kamu bisa memelukku. Jangan
menangis sayang! Kamu tahu? Rasanya mau mati melihatmu seperti ini.
Funny!
How you never showed your love to me
Lovely,
oh the lights I can see
Tidakkah ini sangat bodoh sayang?
Untuk memendam rasa begitu lama. Bagaimana kamu bisa sekuat itu memendam rasa?
Bagaimana aku bisa sepecundang itu untuk pura-pura tidak tahu? Aku mencintaimu
Fitria Suci. Sangat mencintaimu.
This
the last time you may hold me
This the last
time I shall say “Good bye”
(Glow - Frau)
-The End-
Komentar
Posting Komentar