Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2015

Belajar Membaca

Gambar
            Kata orang ada dua hal yang akan terjadi terus-menerus selama kita hidup, pertama bernafas dan yang kedua belajar. Dua kata yang sama-sama mendapat prefix ber- ini sejatinya menegaskan bahwasanya tidak ada satupun manusia di dunia dapat hidup tanpa bernafas dan belajar. Kita hidup maka kita bernafas. Kita bernafas maka kita belajar.                         “Sudah belajar belum, Ri?”             Pertanyaan sama untuk kesekian kali pada hari sepagi ini. Harusnya kujawab secara mantap dan lantang dengan kata “tentu saja”, seperti pagi-pagi lain di hari lalu. Nyatanya, setiap pagi tidak pernah sama. Bahkan ketika kita habiskan semua pagi dengan kegiatan dan orang yang sama sekalipun, pagi hari ini tetap bukan pagi kemarin. Hari ini bukan hari kemarin.                         “Ri, kok diem aja sih? Nggak mungkin kan kamu belum belajar?”             Aku tertawa keras mendengar pertanyaan sahabatku itu. Lalu mendengus. Sepertinya aku memang belum belajar.

Unfinished Story

         That grey house which has a beautiful small garden is my first destination after leaving the airport for about fifteen minutes ago. How great! This building is just as same as four years ago when the last time I saw it. There is no both additional building and color changed. I am numb. Just looking at this memorable house makes me nervous and gets a sudden hands tremble. I can feel how I am at a little war inside. Half of my heart really wants to knock that wooden door and the other half absolutely wants to go out of this place as soon as possible. I take a deep breath. “There is no chance to run, Dimas,” I talk to myself. Yeah, my mind had made up since the day I left this city. I cannot be a coward by stepping my feet out. This day is the day that I waited for, isn’t it? It has been so long and honestly I really miss this place.

Happy Anniversary!

            “Happy anniversary, love.” katanya sambil menggandeng tanganku menuruni kereta gantung Namsan yang telah usai melaksanakan tugas. Gelapnya malam dan Namsan Seoul Tower memang perpaduan yang sempurna, pikirku. Segera saja mataku tertakjub-takjub menatap pemancar radio setinggi 236,7 m yang dibangun tepat di atas Gunung Namsan pada tahun 1969 ini.             Mataku berkaca-kaca. “ Gomawo (terima kasih), ini indah sekali. Warna lampunya mirip aurora ya, gradasi antara biru dan ungu. Ah…romantis.”             “Ini belum seberapa, aku mau ngajakin kamu naik ke atas,” ucapnya bersemangat.             Tanpa menunggu persetujuan, lenganku sudah ditarik menuju ticket booth yang terletak di luar menara.