Ruang Rindu (terinspirasi dari lagu Ruang Rindu-Letto)
Daun-daun berwarna coklat yang terbakar sinar
matahari itu berterbangan di antara kami. Sepertinya angin memang sengaja
bertiup biar kesan pertemuan di tempat ini lebih dramatis. Dan agaknya aku memang
harus berterima kasih. Hal itu berhasil. Sekonyong-konyong aku kaget dia berada
di sini. Menjejakkan kakinya di bumi Sumatra, tepat di depan mataku.
Dari ribuan pulau memesona di Indonesia, kenapa
harus Sumatra yang dia pilih. Kenapa harus Lampung? Kenapa harus Way Kambas?
Dan kenapa harus sekarang saat aku juga berdiri di tempat yang sama. Kami
sama-sama diam, membatu bagai arca.
“Hai nggak nyangka ketemu kamu di sini. Sama siapa?”
tanyaku akhirnya.
Dia berdeham. Agaknya menyadarkan diri bahwa yang dilihatnya
benar-benar nyata.
“Ikutan Adit,” jawabnya singkat.
Ah, bodoh! Harusnya aku tahu pertanyaanku adalah
sebuah retorika. Sudah jelas dia ke sini pasti membuntuti Adit, pacarnya yang
gila travelling itu.
“Oh…” sahutku sebiasa mungkin.
Sosok gadis bernama Citra itupun pergi. Cepat.
Seperti angin yang meniup daun-daun bakau kering yang akhirnya mengalir bersama
aliran Sungai Way Kanan. Dan begitu pula sungaiku. Terinduksi. Kedatangan Citra
di tempat ini, mengalirkan lembut sungai
perasaan yang susah payah kubendung.
Putih kornea tak bertanggul adalah muaranya. Mendadak aku sesak walaupun sedang
berada di hutan mangrove yang seharusnya kaya oksigen. Aku jadi takut perasaan
yang pernah ada itu kembali mengalir. Karena sejak melihat Citra beberapa menit
lalu, yang kuhirup hanyalah rindu.
***
Aku berjalan hampa dengan seember
penuh air bersih menuju tenda rombonganku. Sekelompok orang yang suka
menjelajah. Kami berada di Way Kambas ini bukan untuk melihat atraksi gajah,
tapi ingin mengamati spesies bebek hutan, kuntul, rusa dan burung migran yang
katanya sering berkeliaran di padang rumput dan hutan mangrove. Dan di sinilah
kami sejak lima hari lalu, berkemah di tepi Sungai Way Kanan, setiap hari
menyisir padang rumput dan hutan mangrove.
Kulihat tendaku kosong. Ah, pasti
mereka melihat atraksi gajah lagi. Dasar. Namanya saja sok-sokan pakai tim ekspedisi
nyatanya melihat gajah menari juga. Kuletakkan ember di muka tenda lalu
memutuskan untuk membuat api unggun untuk memasak air. Tapi sebenarnya
perhatianku tersedot pada segelintir orang di sebrang sana. Tim yang baru saja
datang dan mendirikan tenda. Tim yang ada Citranya. Dan, dia terlihat sangat
lembut mengelap kening Adit yang berkeringat. Betapa kayu ini sudah membuat
mataku panas bahkan sebelum kupantik korek api untuk mebakarnya.
***
Bulan
Juli di Pantai Pok Tunggal
Angin semilir khas pantai
mengibar-ngibarkan rambut seseorang yang sendiri menatap hamparan laut dan
langit di depannya. Seperti tak ingin kehilangan momen kutekan tombol shot pada
kamera yang sedari tadi kuboyong. Laut, langit, pantai, angin dan seorang gadis
adalah kombinasi sempurna untuk diabadikan. Satu foto, dua foto dan tanganku
mulai keranjingan menekan tombol itu berulang-ulang. Sampai gadis itu menoleh
dan memergokiku secara ilegal mengambil potret dirinya.
Aku menelan ludah. Siap menerima
rentetan kata-kata makian dari gadis itu. Tapi, dia malah diam. Tidak ada
kemarahan di sana yang ada malah bias-bias sedih.
“Sorry, tadi saya ngambil foto
mbak,” ucapku bersalah.
Dia tidak menjawab. Dan kembali
tenggelam dalam pandangannya. Aku yang merasa tidak enak langsung berlari pergi
menjauh. Mencari objek lain untuk difoto.
Pantai-pantai di kawasan Gunung
Kidul memang surganya pantai di Jawa, tak terkecuali Pantai Pok Tunggal. Pasirnya
yang putih dan barisan tebing karang yang gagah membuat pantai ini semakin
memesona. Mengingatkanku pada Pantai Dream Land di Bali. Bedanya di sini masih
jauh lebih sepi. Dan, di bibir pantainya terdapat sebatang pohon Duras yang
konon sangat sulit tumbuh. Hingga warga sekitar terkesan protektif pada pohon
yang menjadi ikon pantai ini. Ah, andai kamera yang kubawa ini adalah kamera
analog, mungkin aku sudah menghabiskan berpuluh-puluh rol film untuk memotret.
Setiap sudut pantai ini indah. Bahkan, primata liar yang berkeliaran di
tebingpun ikut kuabadikan.
Hari beranjak turun dan aku masih di
sini. Ya, aku datang bersama rombonganku dan dari awal memang akan menginap di
hamparan pasir pantai. Katanya, sunset di Pok Tunggal tidak boleh dilewatkan. Jadilah
kami di sini. Menatap siaga langit yang sebentar lagi ditaburi warna-warna
jingga. Lagi-lagi aku jatuh cinta. Jingga sore ini adalah salah satu jingga
paling indah dalam hidupku.
Tiga menit yang sangat memukau sudah
berlalu. Kini gelap malam mulai menerjang dan kuputuskan untuk kembali menuju
tenda. Baru beberapa langkah ingin pergi, mataku menangkap pemandangan yang tak
asing. Gadis itu masih berada di sana. Aku heran dengan tindakanku sendiri
karena langkahku tiba-tiba mendorongku mendekatinya dan mengajaknya bicara.
“Mbak, nggak balik ke rombongan?
Sunsetnya udahan lho…” ujarku sok tahu.
Masih dengan ekspresi datar dia
menjawab, “Saya datang sendirian dan nggak niat lihat sunset.”
“Sendirian? Mbak, bahaya kalau gadis
sendirian di pantai malam-malam…” jelasku.
“Jangan coba ngrayu saya.”
Hah? Yang benar saja. Aku bukannya
mau merayu. Aku memang khawatir dengan keselamatannya. Aku mendengus sebal lalu
ngeloyor pergi meninggalkan gadis itu.
Malam semakin hitam. Suara angin
laut kini bercampur dengan deburan ombak dan petikan gitar yang dimainkan
beberapa orang yang sengaja menginap di tempat ini. Tak terkecuali aku dan
rombongan. Kami bahkan membakar bertongkol-tongkol jagung untuk menu makan
malam kami. Sambil menikmati hangatnya jagung, aku memandang ke salah satu
sudut pantai. Oh, Tuhan! Gadis itu memang luar biasa keras kepala rupanya.
Biji-biji jagung belum habis kugigit
saat kulihat dua sosok laki-laki berbadan tegap mendekati si gadis keras
kepala. Dasar wanita! Katanya datang sendirian orang bawa bodyguard gitu. Aku
menggeleng-geleng tidak habis pikir. Tapi, langsung refleks berlari saat salah
satu laki-laki tadi menjawil dagu si gadis keras kepala.
“Hey!
Jangan ganggu pacar saya!” teriakku.
Dua laki-laki tadi kontan menatapku
garang. Si gadis keras kepala kelihatan ketakutan.
“Oh… jadi si manis ini pacarmu?”
“Ya! Dan kalian jangan asal jawil
pacar orang,” bentakku sambil menangkis tangan yang masih mau menjawil lagi
dagu gadis itu. Aku menatapnya geram. Lalu dengan sigap kugandeng tangan gadis
itu.
“Pergi. Jangan ganggu kami!” Suaraku
bergetar marah.
“Sorry bos. Kita nggak ngerti kalau
dia pacar lo. Makannya kalau punya pacar jagain jangan tinggalin sendirian
hahaha…” Dua laki-laki itu lalu pergi tanpa rasa bersalah.
Aku menghela napas. Lega. Lalu
kulepaskan genggaman tangan gadis itu.
“Sudah kubilang, kan? Nggak aman
seorang gadis sendirian di pantai malam-malam,” kataku halus.
“Ya, terimakasih emmm..”
“Opan,” sahutku seperti mengerti mau
gadis itu.
“Ya, Opan terimakasih. Dan maaf tadi
sempat berpikir kamu mau ngerayu,” sambungnya merasa bersalah.
“Iya mbak, lain kali jangan
sendirian kalau ke pantai. Dan maaf tadi sempat ngaku-ngaku pacarnya Mbak.”
“Nggak aku maafin kalau kamu masih
manggil aku mbak. Kok kesannya aku tua banget dipanggil mbak? Panggil aja aku
Citra,” protesnya.
Aku nyengir. Lalu mengajaknya
bergabung ke tenda kami. Aku menjelaskan bahwa kami adalah rombongan yang baik
dan ada anggota yang perempuan juga. Jadi malam ini dia bisa menginap di tenda
tim wanita. Dan dia setuju. Sepertinya sudah kapok sendirian malam-malam.
Anak-anak serombongan sudah molor
ketika kami akhirnya duduk berdua di depan api unggun. Kami mulai bercerita
tentang kami dan kenapa bisa berada di tempat ini. Sampailah pada bagian dia
patah hati. Kekasih yang sudah lama dipacarinya ternyata ikut andil dalam
penanaman benih dalam rahim sahabatnya. Dia kalut. Dan akhirnya memutuskan ke
tempat ini untuk menyetorkan sedih ke laut. Katanya, laut adalah muara dari
semua air di seluruh dunia. Dan bila air itu bisa disama ratakan dengan
perasaan, dia ingin mengantarkan perasaannya ke muara itu. Bukan membuang, tapi
untuk melepasnya pergi.
Aku tercengang mendengar ceritanya.
Kini aku paham kenapa dia betah berlama-lama memandang laut sendirian. Dan saat
itu juga aku tahu ada rasa yang harusnya tidak boleh ada. Saat dia tiba-tiba
menangis sejadi-jadinya di pelukanku. Rasa yang menjalar lewat sentuhan lembut
tangannya yang gemetaran. Seketika dadaku sesak. Takut menemukan makna dari
perasaan ini. Takut jatuh cinta kepada orang yang baru saja kehilangan cinta secara
paksa.
***
Langit jelas sudah biru ketika aku
membuka mata dan menemukan anak-anak serombongan memasang mata pada kami. Ada
yang takjub, ada yang mengolok ada juga yang bercia-cie. Astaga, kudapati Citra
dalam bahuku. Ternyata semalam kami sama-sama ketiduran setelah bercerita. Dan
jadilah pagi ini kami jadi tontonan anak-anak serombongan.
“Wah… si Opan ni ya. Lagaknya aja
kayak homo. Giliran sekarang, udah dapet pacar duluan bro! Hahaha…” tawa Bowo
menggelegar.
“Don, lo udah jepret kan ini
peristiwa. Harus diabadikan ni, momen langka,” si Tio ikut nimbrung.
“Wohooo jelas sudahlah. Gue kan
potograper yang nggak mau kehilangan momen hahaha..” jawab Doni.
Aku yang sudah sadar cepat-cepat
bangkit mau merampas kamera Doni. Aku kelupaan soal Citra yang ada di bahuku.
Jadilah kepala itu jatuh di pasir lalu sadar. Kulirik Citra yang mengaduh
dengan tatapan minta maaf dan langsung mengejar Doni yang ngibrit membawa
kameranya.
Setelah hampir setengah jam
berkejar-kejaran di bibir pantai kami akhirnya menyerah. Dan membanting tubuh
ke pasir.
“Gile lo, Pan. Niat banget ngejar
gue. Yakin lo mau foto ini gue hapus? Nggak bakalan nyesel?” tanya Doni dengan
napas terengah-engah.
“Tadinya pengen. Sekarang enggak!”
jawabku agak malu.
“Hahaha nice bro. Gue dukung bilang
aja lo suka sama dia,” sahut Doni sambil meninju lenganku.
Kami lalu tertawa-tawa berdua. Ya,
mungkin ada saatnya nanti hari untuk bicara dengan Citra tentang perasaan ini.
Nanti, saat dia sudah sembuh dari luka yang baru saja menganga di hatinya itu.
Mataku masih terpejam membayangkan
saat yang tepat itu datang ketika suara Citra memanggil namaku.
“Pan, boleh bicara sebentar?”
ucapnya ragu.
Aku melirik Doni yang masih rebahan
di samping tubuhku dengan tatapan ‘plis tinggalin kami berdua’. Syukurlah yang
ditatap peka. “Emm.. ya gue cabut dulu mau nyari ubur-ubur sama Tio,” kata Doni
beralasan ngawur lalu pergi. Dalam hati aku ngikik tiada terkira.
“Ada apa Cit?” Mukaku bersemu merah
jambu.
“Pan, aku mau pamit,” ujarnya.
Mataku mengerjap-ngerjap tidak
percaya. “Kamu udah mau pulang? Katanya mau pulang bareng kami?” kuberondong
dia dengan pertanyaan obsesif.
Dia menunduk lalu menggeleng. “Adit,
dia datang ke sini, Pan. Dia jemput aku. Katanya yang kemarin itu salah paham.”
“Trus kamu percaya dia gitu aja,
Cit?”
“Aku belum tahu. Yang jelas aku mau
nyelesain ini sama Adit,” lanjutnya.
“Cit, aku mau ngomong sama kamu. Aku
suka kamu, Cit. Please… Jangan pulang sama Adit.” Tanganku memegang tangannya
erat. Lebih ke mencengkram.
Dia menangis tapi tidak terlihat
kaget. “Maaf, Pan. Aku nggak bisa… sekarang. Adit udah nunggu.”
“Cit, please…” masih kutahan
tangannya saat dia berbalik.
Citra lalu menatapku dengan tatapan
yang aku tidak tahu artinya apa. Melepaskan genggaman tanganku lembut lalu
berlari menuju seseorang yang menunggunya.
Aku geram. Meninju-ninju angin yang
tidak bisa kulihat wujudnya. Kenapa saat aku merasa bahwa aku benar-benar jatuh
cinta, cinta itu malah pergi. Meskipun sudah kucoba untuk menahannya, dia tetap
pergi juga. Kenapa tempat seindah ini harus kukenang dengan meringis sakit saat
aku ingat. Tak sadar aku berteriak-teriak seperti orang kesurupan.
“Cinta memang sadis, bro. Sama
seperti laut yang kadang ombaknya memporak-porandakan semua yang ada.”
Kurasakan tangan Doni merangkul bahuku.
Biarpun tak bisa kumiliki, Citra
adalah orang yang bisa membuatku percaya rasa cinta itu benar adanya.
***
November,
Way Kambas
Heran.
Sudah berkali-kali korek ini kupantik tapi tetap saja api yang kubuat tidak
menyala. Mungkin para psikolog harus membuat penelitian tentang pengaruh
kecemburuan dengan tingkat keberhasilan memantik korek. Dan jika memang ada, setidaknya
aku tidak akan merasa konyol seperti sekarang.
“Butuh bantuan?” Doni yang tiba-tiba
datang merebut korek dari tanganku lalu memantiknya. Dan viola.. menyala.
“Ya gue butuh bantuan buat nyembuhin
patah hati, lo bisa?” sambungku sambil menunjuk ke arah Citra dengan mata.
Lagi-lagi Doni peka. “Sorry gue
normal. Lo jangan homo lagi plis…” Dia malah menggurau.
“Kenapa dia di sini sih, Don?
Sakit…” curhatku.
“Bro, jangan gara-gara lo patah hati
trus lo jadi pengecut kayak begini. Dunia penuh kejutan, kan? Hadapi jangan
ratapi! Mending bantuin gue nyari kayu bakar aja,” cerocosnya.
“Sana sendiri. Kata lo gue mesti
ngadepin kenyataan. Berlaku juga buat lo…” kataku tekekeh.
Doni mengumpat lalu ngeloyor pergi
lagi. Dan sekarang tinggal aku di sini sendiri memandang Citra. Kukeluarkan
dompet. Lalu menyeret satu-satunya foto di sana. Ya, fotoku bersama Citra.
Kupejamkan mata mencoba merasakan kembali saat itu. Saat tubuhnya nyata
kurengkuh semalaman.
Cit, sekarang aku
tahu alasannya. Kenapa kita harus bertemu di sini. Hei, bahkan alam ingin kamu
tahu rinduku sebesar badan gajah. Dan alam berkonspirasi menjadikan tempat ini
ruang rindu buatku dan kamu.Ruang yang amat indah bukan?
Aku menggumam
dalam hati. Sambil berandai-andai mencopot sebentar salah satu telinga gajah di
sini dan memasangnya di kepala Citra. Hingga dia mampu menangkap gumaman hati
yang bergetar tanpa harus mengucapkannya. Citra bertelinga selebar gajah? Yang
benar saja… Orang yang jatuh cinta lalu patah hati memang terkadang mendadak
kreatif. Atau kalau mau diksi yang lebih tepat, ngacau.
-The
End-
Komentar
Posting Komentar