TANGEN
http://da.wikipedia.org/wiki/Trigonometrisk_funktion |
Aku
menyipitkan mata. Heran. Ternyata bisa bicara juga, ya! Bukankah selama
berbulan-bulan ini, dia tidak pernah menganggapku ada? Dasar wanita! Tetap saja
semaunya sendiri, tetap saja tidak bisa ditebak.
“Oh
ya? Jadi, lukisan ini mata kamu?” tiba-tiba aku ikut tertarik dengan benda dua
dimensi ini.
“Ya,
kamu benar! Beberapa pelukis melukis apa yang mereka lihat di sekitar mereka
dan yang lain melukis apa yang mereka lihat dalam imajinasi. Setiap lukisan
memiliki tema, kamu tahu?”
Dia benar-benar
ahli tentang lukisan.
“Tema?
Aku kira kita bebas melukis apa saja yang kita mau,” aku menimpali setahuku.
“Ya,
lagi-lagi kamu benar. Tapi, dalam melukis tetap saja harus ada tema yang
disajikan. ‘Last Supper’ karya Leonardo da Vinci, contohnya, salah satu lukisan
paling terkenal di dunia. Leonardo da Vinci mengangkat tema religi dalam
karyanya. Dia menceritakan terakhir kali Yesus makan bersama dengan para
pengikutnya dengan gambaran yang sangat luar biasa.”
Aku
mencari-cari sosok Leonardo da Vinci dalam otakku, yang muncul malah sosok
animasi Leonardo da Vinci dalam film Mr.
Peabody and Sherman. Ditambah lagi dengan judul karya lukisannya itu,
benar-benar buntu. Yang aku tahu dari Leonardo hanya Monalisa. Hanya itu.
Aku
menatapnya sekali lagi. Malam ini dia terlihat sangat… berbeda. Sepuluh bulan
lalu, ketika aku resmi mengencani adiknya, Marga, aku berkenalan dengannya. Aku
datang ke apartemen mereka untuk pertama kali. Dan dia sedang melukis, hanya
merespon salam perkenalan dengan menatapku sejenak. Tidak ada hai ataupun salam
basa-basi seperti lazimnya sebuah perkenalan.
Tubuhnya
kecil atau kaos oblongnya yang kebesaran, aku tidak tahu. Rambutnya sebahu,
acak-acakan. Aku yakin dia tidak pernah menyisirnya dengan benar. Matanya…
seperti mata lelaki, bebas dari bau eyeliner
ataupun eyeshadow. Bibirnya merah,
tapi bukan karena dia memakai lipstik atau lipice
seperti kebanyakan wanita. Tapi karena dia menggigitinya selama dia melukis. Dan,
ya Tuhan! Coba lihat tangan wanita ini! Kukunya kotor dengan sisa-sisa cat
minyak. Apa seorang seniman harus seperti ini? Sangat berbeda dengan pacarku,
yang notabandnya adalah adiknya sendiri. Dia cantik, wangi dan bersih. Aku
menggeleng-geleng kepala.
Namun
hari ini, sosok yang kutahu berbulan-bulan itu menguap. Berganti dengan sesosok
wanita anggun yang berkelas. Dia memakai dress elegan serta gaya rambut yang
sangat manis. Tentu saja, hal tersebut bukan hanya membuatnya cantik tetapi
juga terlihat sangat cerdas.
“Jadi… Apa tema lukisanmu ini?”
Itu
benar-benar pertanyaanku yang sesungguhnya. Sejak pertama aku melihat lukisan
ini, aku tidak tahu tentang apapun yang ingin dia sampaikan. Bagiku, lukisan
ini mirip sekali dengan garis-garis layar monitor yang bertengger di samping
para pasien kritis di rumah sakit. Dan, katanya tadi lukisan adalah mata
pikiran dari pelukisnya. Jadi, mungkinkah dia sedang sakit parah saat ini? Aku
berharap bukan itu maksudnya.
“Apa
yang kamu lihat? Beri tahu aku dulu,” dia menantangku.
“Emm..
Entahlah, mungkin ini sebuah morse seperti yang digunakan anak pramuka untuk
berkomunikasi.”
Penjelasan
yang lebih masuk akal daripada garis layar monitor rumah sakit yang kutemukan
begitu saja.
“Aku
malah tidak kepikiran soal itu sama sekali lho,” dia tertawa.
Sebegitu
lucukah jawabanku sampai dia tertawa seperti itu? Aku ingin menimpali tawanya
dengan alasan yang sudah menyembul di pikiranku tapi, tawanya mendadak
berhenti. Aku urung untuk membuka mulut.
“Bukan
morse pramuka yang aku lukis. Tidakkah kamu membaca judul lukisan ini?”
Aku
menunduk. Mengeja huruf demi huruf yang terpampang di sana. TAN.
“Tan
untuk Tangen. Trigonometri dalam matematika. Grafiknyalah yang aku lukis. Tapi,
lukisan ini bukan sama sekali bertema tentang sains ataupun kalkulus. Lebih
dalam dari itu. Sebenarnya, lukisan ini adalah mata dari impian hidupku.”
|
***
Lima
bulan yang lalu…
Di
atas sebuah kursi apartemen minimalis ini, aku terduduk menunggu Marga. Tentu
saja, disuguhi pemandangan konstan seperti hari-hari sebelumya. Seorang wanita
yang sedang melukis. Tidak ada yang bisa mengalihkan pandangan wanita itu
kecuali kanvas dan palet warna biru yang ada di tangannya. Tidak pula
kehadiranku di sini.
Siska
– wanita pelukis itu, aku menyebutnya asosial. Dia bahkan tidak pernah
menyapaku. Jadilah, aku sebagai subyek yang mengamati lukisannya selama aku
menunggu. Lukisan yang kadang dipenuhi gradasi warna-warna cerah sampai gradasi
warna-warna tua, aku melihatnya sampai bosan. Tapi, hari ini lain. Di
hadapannya, warna putih kanvas itu masih perawan. Sama sekali belum tersentuh
dengan ganasnya kuas yang akan menjarah tanpa ampun setiap inchi tubuhnya.
Dia
diam. Rupanya bisa kehabisan inspirasi juga, ya pelukis? Seolah mendengar kata
batinku, dia menoleh. Dan menangkap basahku yang diam-diam sedang
memperhatikannya. Satu detik…dua detik…tiga detik…empat detik…lima detik… kami
resmi bertatapan. Dan kuas besar itu datang selanjutnya. Kuas dengan gradasi
merah muda yang tiba-tiba saja melukis hatiku. Kuas yang berbentuk sebuah
senyuman. Senyuman sang pelukis. Senyuman Siska.
“Hei,
sayang. Langsung berangkat yuk udah mau telat ni…”
Marga
datang dengan senyuman yang tak pernah lagi sama artinya untukku.
“Siap
Nona!” kubungkukkan badanku sambil meraih tangannya lembut.
Kulirik
sang pelukis ketika aku berjalan menuju pintu keluar. Dia kembali dalam diam,
menatap kanvasnya. Aku menatap gadis manis berkerudung biru di sebelahku
kemudian. Dia benar wanita yang aku cintai selama ini. Tapi yang tadi itu apa?
Bagaimana kuas besar itu bisa datang? Bagaimana bisa kau melakukannya wahai
pelukis? Bagaimana bisa aku mencintai dua orang dalam waktu yang sama. Aku
menghela napas. Selanjutnya, datanglah ribuan bagaimana dalam otakku. Ah, cinta
itu semacam lukisan abstrak! Membuatku tidak mengerti. Kueratkan genggaman
tangan Marga. Lalu, beranjak pergi.
***
Empat
bulan lalu…
Apa
aku sekarang bisa dibilang telah menjadi seorang playboy? Ah, tidak mungkin. Aku kan memang benar-benar menyayangi
Marga dan tidak pernah sekalipun punya niat menjadikannya boneka Barbie.
Tapi…aku juga jatuh cinta dengan kakaknya yang pelukis itu hanya gara-gara
sebuah senyuman. Kalau bukan playboy
apa namanya? Laki-laki mata keranjang? Atau bahkan aku ini seorang bajingan?
Tapi bukankah aku tidak mengencani pelukis itu? Kulempar barbel yang ada di
tanganku geram. Aku memang telah berkali-kali jatuh cinta. Namun, jatuh cinta
pada orang yang berbeda dalam satu waktu, jelas ini baru kali pertama.
Cinta
itu bisa jadi semacam katoda atau anoda. Sekejap bisa membuat hatiku merah
seperti asam. Dan sekejap pula bisa mengubahnya membiru seperti NaOH. Nyetrum, seperti elektrolit. Marga,
dialah asam dengan pH 1, selalu membuat hatiku semerah lakmus dengan
peringainya yang menyenangkan. Bisa ditebak selanjutnya, bahwa sang pelukis
adalah basaku. Membirukan hati yang merindukan senyuman yang menguas habis hatiku.
Aku
menatap refleksi diriku di cermin. Astaga… sejak kapan aku pintar berkata
seperti pujangga? Aku memang sudah gila. Fix.
***
Melihatnya
menatap kanvas begitu lama seperti sekarang sukses melemparkanku tepat ke
potongan ingatan lima bulan yang lalu. Hari melegenda untukku dan sang pelukis.
Saat hatiku jatuh dan tidak pernah kembali lagi.
“Apa
yang membuat grafik Tangen ini begitu mendalam untukmu, wahai pelukis?” tanyaku
memecah suasana yang terlalu lama terbungkus diam.
Dia
terlihat menahan tawa.
“Hei,
sejak kapan kamu pakai bahasa seperti pujangga gitu?”
“Jawab
saja wahai pelukis,” aku tertawa.
“Ehem!
Oke, akan kujelaskan. Jadi, grafik Tangen ini seperti representasi cinta Yang
Maha Cinta buatku,” jelasnya.
“Tuhan
maksudmu?”
“Tentu
saja. He is The One who has the infinite
love. Dan kalau kamu lihat grafik Tangen ini, tidak akan kamu temukan intersection dari garis-garis ini.
Seperti melukiskan kasinNya yang tanpa pernah berhenti, tanpa batas. ”
Aku
mengangguk-angguk mengerti. “Lantas apa yang menjadi mimpimu sampai kamu
melukis kasihNya yang begitu Maha ini?” tanyaku penuh semangat.
Matanya
berkaca-kaca, “Aku ingin menjadi seorang biarawati, Ndre.”
Napasku
tertahan. Terhenyak. Kalimatnya barusan bagaikan petir yang menyambarku dalam
sekejap. Tunggu, seorang biarawati? Bukankah Marga seorang muslim?
“Kamu
heran ya? I’m a catholic,” sahutnya.
“Marga..”
ucapku terbata.
“Ya,
dia seorang muslim. Dan kami saling menghormati satu sama lain. Seperti
mendiang mama yang selalu menghormati kepercayaan papa. Begitu pula sebaliknya.
Aku ikut keyakinan papa dan Marga ikut keyakinan mama. Walaupun begitu kami
tetap hidup bahagia. Papa juga tidak pernah menikah lagi setelah mama pergi.
Kamu tahu, kan? Dalam kepercayaan kami hanya ada satu pernikahan seumur hidup,”
air matanya siap tumpah.
“Dan
kenapa biarawati? Setahuku kamu ingin menjadi seorang pelukis, Sis..”
“Aku
ingin melayani Tuhan, Ndre. Aku.. aku.. ingin hanya Dia yang menjadi
satu-satunya cinta dalam hidupku. Menyambut Tangan AgungNya setiap hari lewat
Rosario, merapalkan namaNya dalam setiap doa, mengabdikan semua hidup seperti
Bunda Teresa. Melepas semua hal keduniawian, untuk satu cinta yang lebih murni
dan agung, cintaNya Yang Tanpa Batas. Bukankah itu indah sekali?” tangisnya
pecah.
Aku
lemas, wanita yang aku cintai telah memilih jalannya untuk cinta Yang Tanpa
Batas.
“Lalu…”
sambungku yang juga menahan perih.
“Papa
belum mengizinkanku. Tapi aku bersikukuh agar bisa mengucap kaul-kaul itu.
Sampai….” Dia kembali menangis.
“Sampai…sampai
Marga membawa kamu ke apartemen. Tiba-tiba aku cemburu. Tiba-tiba aku… aku
merasa menghianatiNya, sejak hari itu cintaku terbagi.”
Aku
seperti mengalami satu titik pengkristalan dalam waktu. Apa artinya dia
memiliki perasaan yang sama sepertiku? Aku hanya diam tak mengerti apa yang
akan terjadi selanjutnya setelah ini.
Kuhapus
air mata di pipinya, “Sis, kamu…”
“Tapi
kamu adalah pacar Marga. Aku sadar tidak bisa seperti ini,” dia menunduk lesu.
Kebingungan,
kudekap lembut wanita yang ada di depanku itu. Wanita yang selama ini hanya
bisa kupandang seperti lukisan-lukisan dalam bingkai kaca. Sekarang, di dadaku
wanita itu terisak membenamkan wajahnya. Kami berpelukan lama. Meleburkan semua
perasaan tanpa bahasa kata. Kuangkat lembut wajah cantiknya. Garis wajahnya
kini mungkin representasi dari gradasi warna-warna tua yang sedih dalam
kanvasnya. Namun mata itu kini tidak lagi menatapku, melainkan tunduk dalam
sebuah kecupan tiba-tiba.
“Andre?
Kakak? Apa yang kalian lakukan?”
Suara
itu…..
Komentar
Posting Komentar