Belajar Membaca
Kata orang ada dua hal yang akan
terjadi terus-menerus selama kita hidup, pertama bernafas dan yang kedua
belajar. Dua kata yang sama-sama mendapat prefix
ber- ini sejatinya menegaskan bahwasanya tidak ada satupun manusia di dunia
dapat hidup tanpa bernafas dan belajar. Kita hidup maka kita bernafas. Kita
bernafas maka kita belajar.
“Sudah
belajar belum, Ri?”
Pertanyaan sama untuk kesekian kali
pada hari sepagi ini. Harusnya kujawab secara mantap dan lantang dengan kata “tentu
saja”, seperti pagi-pagi lain di hari lalu. Nyatanya, setiap pagi tidak pernah
sama. Bahkan ketika kita habiskan semua pagi dengan kegiatan dan orang yang
sama sekalipun, pagi hari ini tetap bukan pagi kemarin. Hari ini bukan hari
kemarin.
“Ri,
kok diem aja sih? Nggak mungkin kan kamu belum belajar?”
Aku tertawa keras mendengar
pertanyaan sahabatku itu. Lalu mendengus. Sepertinya aku memang belum belajar.
***
Seharusnya ruang ujian ini sudah
kosong sejak dua jam yang lalu. Ujian Semantics telah usai. Tapi, aku masih
ingin tinggal. Aku masih ingin di sini. Duduk diam. Kulihat Indah, sahabatku,
mengerutkan alis. Secara bergantian, dia menatapku lalu menatap
berlembar-lembar tissue di depanku.
Bertanya apa aku baik-baik saja setiap lima menit. Berjalan mondar-mandir
mencari pembenaran gerangan apa yang terjadi pada Riani. Sahabat yang sudah
dikenalnya sejak SMA. Riani yang pintar dan hobi belajar tiba-tiba menangis
sehabis ujian. Pasti ada yang salah.
“Duh,
Ri… Udah dong jangan nangis terus! Aku yakin kok kamu bakal lulus di makul
ini,” hibur Indah.
Aku
memeluknya. Masih menangis. Lalu, kurogoh
handphone di dalam tas dan kusodorkan ke Indah. Dia kaget. Wallpaperku
adalah sebuah gambar yang kuambil lewat screenshot
obrolan di BBM.
“Maaf,
Ri. Tadi aku nggak tahu…” Indah balik memelukku.
Lantas, meluncurlah cerita semalam.
Tentang aku dan Dimas. Tentang hubungan kami. Tentang sebuah kata perpisahan
dari Dimas.
“Dia bilang lagi banyak
masalah, pengen sendiri dulu. Pas aku bilang aku mau bantuin nyelesaiin
masalahnya, dia tetep bilang mau nyelesain sendiri,” tuturku.
Indah menatapku iba lalu berkata, “Ri…
Aku nggak bisa bilang apa-apa. Berdoa aja ini jadi jalan yang terbaik buat
kamu.”
“Tapi aku sedih, Ndah!
Hati aku sakit. Oke kalau emang dia bener-bener niggalin aku karena dia punya masalah
penting apapun itu, tapi tapi nyatanya… dia… dia sama cewek lain. Dia bohong,
Ndah! Aku nggak suka. Apa dia nggak mikirin hatiku? Emang dia pikir nggak sakit
digituin? Dia tu egois banget kalau kayak gini.” Aku mengumpat.
Ya, benar. Ternyata Dimas punya cinta lain
yang mungkin lebih menjanjikan untuk hari ke depan. Gadis yang lebih cantik,
lebih baik, lebih dewasa, lebih solikhah dan lebih-lebih yang lainnya.
Sementara aku hanya mahasiswa semester akhir bertampang biasa dengan kelakuan
dan mental anak SMP. Pantas saja dia memilih meninggalkan cinta lamanya yang
mungkin sudah dianggapnya roti basi tak layak makan. Padahal, dulu kami pernah
bersama membagi janji untuk hari esok. Ternyata tweet dari salah seorang penulis dengan username @glovembermoon yang
pernah aku baca itu benar. Berjanji pada esok, tak ubahnya cinta yang bertepuk
sebelah tangan. Sebab, esok tidak pernah berjanji apa-apa untuk kita.
“Iya, Ri. Aku tahu kamu
sebel tapi jangan ngata-ngatain dia gitu. Nggak baik. Kamu ngata-ngatain dia
pun keadaan juga nggak berubah, Ri. Nambah dosa malah,” Indah memang selalu
kalem dan super sabar.
Omongan Indah memang benar, tapi
hatiku juga benar sakitnya. Kalau dibaratkan aku ini sudah jatuh tertimpa
tangga, sudah diputus diselingkuhi juga. Nasib! Di tengah isak aku tertawa
sekali lagi. Indah sempat kaget namun maklum kemudian. Kuhapus sisa-sisa
airmata di pipi. Sudah cukup.
“Ndah, aku pengen pulang…”
***
Hari ketiga belas seorang Riani
resmi menyandang status jomblo. Lagi-lagi aku tertawa getir. Satu kalimat yang
kujadikan status di BBM itu sebenarnya membanting harga diriku. Terlebih di
depan Dimas. Seolah menjadi pembenaran bahwa rasa sakit itu jelas masih ada.
Sial! Dimas mengganti display picturenya
berdua dengan gadis itu. Kututup BBM, kubuka Instagram. Muncullah di sana foto
yang sama dengan caption “Love you so”.
Air mataku hampir turun. Kucek twitter,
timeline sudah penuh dengan mention-mention cinta mereka berdua. Hatiku
dongkol. Andai saja Hogwarts itu nyata dan aku bersekolah di sana, akan
kupastikan setiap hari meminum puluhan botol polyjus dengan ekstrak rambut
gadis itu. Lalu, akan kusekap dia di ruang bawah tanah agar aku bisa bersama
Dimas (lagi).
Astaga! Apa cinta bisa mengubah
seseorang menjadi jahat? Apa aku mau menjadi jahat gara-gara cinta? Aku sadar,
aku tidak mungkin tega menyakiti Dimas. Biar bagaimanapun Riani yang ditinggal
Dimas ini masih suka dan hobi belajar. Biarlah kuanggap mencintai Dimas juga
sebagai sebuah mata pelajaran. Aku akan belajar memahami, tidak terus-terusan
ingin dipahami. Belajar memahami persaannya. Belajar memahami caranya untuk
bahagia.
Kata guru SMPku inti dari belajar
itu mengubah. Belajar memahami Dimas akan mengubah cara pandangku tentang dia.
Akan mengubah segala umpatan-umpatanku menjadi doa. Akan mengubah pikiranku
menjadi sedikit dewasa. Agar aku bisa mulai untuk belajar bahagia. Tidak semua
belajar itu menyenangkan, seperti belajar matematika contohnya. Tapi, kalau mau
lulus atau naik kelas kita harus belajar mati-matian agar bisa matematika, kan?
Apalagi belajar membaca dan mengerti perasaan orang lain, susah sekali.
Belajar
Membaca
Karya
Sutardji C. Bachri
Kakiku luka
Luka kakiku
Kakikau
lukakah
Lukakah
kakikau
Kalau
kakikau luka
Lukakukah
kakikau
Kakiku luka
Lukakaukah
kakiku
Kakiku
kakikaukah
Kakikaukah
kakiku
Kakiku luka
kaku
Kalau
lukaku lukakau
Lukakakukakiku
lukakakukakikaukah
Lukakakukakikaukah
lukakakukakiku
-The
End-
Komentar
Posting Komentar