Perempuan yang Menanggung Dunia dan Seisinya: Bukit Kesengsaraan




    
Perempuan itu berjalan dengan terseok-seok. Ia benar-benar harus berhati-hati menapak jalanan di depannya. Dengan matanya yang tersisa, ia bersusah payah memandang dunia tidak hanya dari satu sisi. Seperti halnya jalan bebatuan yang kini dipijak kaki kecilnya. Ia harus melebarkan matanya yang tinggal satu, mengasah mata kakinya dengan insting agar jalan yang ia tempuh benar-benar mengantarkannya ke tujuan selanjutnya.

    Bukit Kesengsaraan. Orang-orang yang mendengar nama bukit itu sudah pasti akan menarik kakinya jauh-jauh. Enggan mengakrabi sumber kesengsaraan yang bahkan sudah memburu hidup mereka tanpa perlu repot-repot didekati. Dahulu, pernah ada seorang pemuda yang nekat mendaki bukit itu. Ia sangat penasaran dengan kesengsaraan dalam hidupnya yang tidak pernah berhenti barang sehari. Minggu sebelumnya, rumahnya hancur terkena badai. Hari berikutnya ternaknya dicuri, sepuluh ekor sapinya hilang tanpa sisa. Belum kering bekas sengsara di dadanya, esoknya ia kehilangan ibu untuk selamanya. Ia marah, lalu memutuskan untuk menantang kesengsaraan sendirian. Dengan berbekal rasa putus asa, pemuda itu melangkah gontai menuju bukit. Lalu, tidak pernah kembali lagi. Penduduk desa berkata,  pemuda itu sudah hilang, habis ditelan kesengsaraan. 
    
    Perempuan itu menghela napas. Ia teringat kisah yang pernah didengarnya beberapa tahun silam. Sempat ada keraguan dalam hatinya. Apakah nanti ia akan bernasib sama dengan pemuda itu? Akankah tubuhnya yang kurus itu akan habis dimakan kesengsaraan di atas sana? Perempuan itu menggeleng. Tidak. Katanya menguatkan diri. Ia akan melewati bukit itu dan menemui Sang Juru Cerita. Tinggal lima langkah lagi dan ia akan sampai di puncak Bukit Kesengsaraan. 

    Hawa sepi menyambut langkah kaki perempuan itu. Dari pijakan pertamanya, ia dapat menangkap getaran kesengsaraan mengalir dan bernapas dengan seluruh vegetasi di bukit itu. Tanahnya tandus. Pohon-pohonnya kering. Angin sama sekali tidak bersemilir. Bukit itu seolah terjebak di antara kehidupan dan kematian. Dari sebelah matanya, perempuan itu mendapat bayangan kesengsaraan yang dahulu hanya ia dengarkan kisahnya saja.

    Perempuan itu lantas menyusuri jalan yang membelah bukit. Saat ia seret kaki kecilnya memasuki vegetasi lebih dalam, ia merasakan bahwa bukit itu ikut bergerak. Ia heran. Lalu, ia mencoba menyeret kakinya lagi. Benar, bukit itu bergerak. Bukit itu hidup dan sedang mengamatinya. 

      "Maafkan kelancanganku, tapi aku hanya ingin melewati bukitmu saja," ucap perempuan itu dengan suara bergetar. 

    Seolah mendengar ucapan anak perempuan itu, bukit itu justru kembali bergerak. Lalu berkata, "Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan manusia. Semua manusia sudah meninggalkanku."

    Perempuan itu terhenyak. Suara itu jelas-jelas terdengar di telinganya. "Maukah kau menceritakan kisahmu kepadaku? Tunjukkan dirimu wahai Bukit, aku ingin mendengar ceritamu," perempuan itu menjawab.

    Sang Bukit lalu menunjukkan diri dalam wujud seekor kura-kura tua. Ia berjalan di depan perempuan itu, sambil menceritakan kisah hidupnya.
    "Dahulu, cangkangku adalah bukit yang subur," Si Kura-kura Tua memulai ceritanya.
    "Semua pohon tumbuh hijau, daunnya lebat. Setiap hari, pohon-pohon itu berbuah. Semua hewan dari semut sampai burung tidak pernah kekurangan makan." Ia meneruskan ceritanya sambil membimbing perempuan itu menapaki jalan.
    "Sampai pada suatu hari, datang seorang manusia. Ia menawarkan kepadaku lautan luas. Tempat di mana aku seharusnya berada. Bodoh sekali aku waktu itu, Nak. Aku tinggalkan cangkangku di sini. Aku tinggalkan bukit ini sendirian, mengejar lautan luas yang bahkan terlalu besar untuk aku selami sendirian. Saat aku kembali dari laut, bukit ini sudah sekarat. Pohon-pohonnya ditebang, hewan-hewannya dimakan. Aku menangisi kebodohanku, tapi semua sudah terlambat. Kesengsaraan sudah memeluk hidupku. Kini aku harus tinggal dalam kesengsaraan ini sendirian sampai tua." Si Kura-kura Tua mengakhiri ceritanya.
    Perempuan itu tidak bisa berkata apa-apa. Ia bisa merasakan ada perasaan sedih, kecewa dan penyesalan dalam tutur kata Si Kura-kura Tua.
        "Kakek Kura-kura, sungguh sengsara sekali kehidupanmu. Kek, punggungku ini biar kecil masih kuat karena aku masih muda. Bolehkah aku ikut menanggung cangkang kesengsaraanmu? Hiduplah ke laut sekali lagi dan hilangkan kesengsaraanmu di sana," pinta Perempuan itu.
      "Nak, beban cangkang ini terlalu berat. Sekali kau kenakan, tidak akan bisa kau lepas kecuali ada orang lain yang rela membagi punggungnya denganmu. Apa kau siap dengan itu?" tanya Si Kura-kura Tua.
     "Biarpun harus kugendong cangkang itu seumur hidupku, aku tidak akan pernah menyesal, Kek. Karena aku tahu, aku sudah memberi Kakek kesempatan untuk merasakan hidupmu kembali," jawab si anak perempuan.
    Lantas Si Kura-kura Tua melepaskan cangkang kesengsaraannya. Dengan cepat, cangkang itu sudah beralih di atas punggung tuannya yang baru, si anak perempuan.
    "Terima kasih, Nak," kata Si Kura-kura Tua. Matanya berkaca-kaca.
    Perempuan itu memeluk Si Kura-kura Tua lalu tersenyum. Tanpa sadar ia telah sampai di ujung bukit. Ia harus melanjutkan perjalan, dengan sebelah mata dan sepunggung kesengsaraan.



=======BERSAMBUNG=====


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Happy birthday Gagas!

REVIEW BUKU SEMUA IKAN DI LANGIT: MENGENAL TUHAN DALAM SOSOK BELIAU