KISAH SEBUAH BATU (VERSI INDONESIA)

Sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/846606429954374964/

Ditulis oleh Ambar

Dahulu kala, hiduplah sebuah batu yang selalu merasa hidupnya tidak berguna. Ia selalu dikatakan keras seperti besi. Oleh karena itu, tidak akan ada seorang pun yang menyukainya. Sebaliknya, mereka marah dengan keberadaannya setiap hari.


Karena alasan itu, batu itu sedih. Ia merasa bahwa semua yang dikatakan orang-orang itu benar adanya. Suatu kali, ia melihat jauh ke dalam jiwanya, dan ia menemukan bahwa dirinya sebenarnya kasar, besar, dan kelabu. Bayangan itu tentu saja tidak membuat batu itu senang. Ia hampir tidak tahu alasan mengapa orang-orang tidak ingin berada di dekatnya.


Satu-satunya makhluk yang bisa mendekatinya hanyalah koloni lumut. Namun, lumut bukanlah teman. Mereka secara diam-diam memangsa batu itu dengan menyamarkan diri mereka dalam gerakan yang lembut dan penuh kasih sayang. Namun, mereka tetap saja kejam.


Selain itu, batu itu juga dianggap sebagai penghalang. Suatu hari, seorang pedagang garam dari desa terdekat ingin pergi ke kota. Ia bertemu dengan batu yang berada tepat di tengah jalan menuju kota.


"Pergi dari jalanku!" pinta si penjual.


Batu itu bergetar karena nada suara si penjual yang tinggi. Ia berusaha sekuat tenaga untuk bergerak. Namun, ia gagal.


"Maaf, tapi aku tidak bisa bergerak. Tubuhku sangat besar," jawab si batu.


"Sungguh hidup yang buruk. Kau telah menghalangi jalanku. Hidupmu hanya membuat orang lain menderita." Si penjual berbalik dan meninggalkan batu itu sendirian. Dengan menemani dirinya sendiri, si batu menangis sejadi-jadinya.


Keesokan harinya, banyak orang datang ke tempat si batu. Si batu awalnya senang. Ia berpikir bahwa mungkin orang-orang telah berubah dan mereka ingin menerima batu itu sebagai teman mereka. Namun, ternyata tidak demikian. Penduduk desa datang dengan kapak dan linggis. Mereka memukul batu itu tanpa ampun. Pertama-tama, penduduk desa berhasil memecahkan permukaan batu itu. Namun, kegilaan mereka tidak dapat mengalahkan ketangguhan batu itu. Pada akhirnya, mereka kelelahan dan menyerah. Mereka pulang sambil membawa serpihan batu itu.


Batu itu kembali tertekan oleh kebencian orang-orang terhadapnya.


"Ya Tuhan, seburuk itukah aku? Mengapa Engkau menciptakan aku, Tuhan? Mengapa?" Ia mempertanyakan keberadaannya di dunia ini.


Tidak ada jawaban. Tidak juga keesokan harinya.


Beberapa bulan kemudian, seorang penduduk desa datang. Batu itu tidak senang kali ini. Ia telah bersiap untuk yang terburuk.


"Hei, Batu, aku akan mengucapkan terima kasih. Serpihan batumu telah memberiku fondasi yang sangat kokoh untuk rumahku. Tanpa serpihan batumu, mungkin rumahku tidak akan bisa berdiri kokoh seperti sekarang ini," kata penduduk desa itu.


Batu itu benar-benar terkejut.


"Aku tahu apa yang aku dan orang-orangku lakukan padamu itu buruk. Tapi, bisakah kau memaafkan kami? Maaf, kami tidak pernah melihat kebaikan dalam dirimu," sesal penduduk desa itu.


Batu itu berdiri dalam diam. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Separuh dirinya ingin menyerang penduduk desa itu atas apa yang telah dilakukannya. Namun di separuh dirinya yang lain, hatinya hangat. Ia akhirnya bisa merasakan untuk tidak menjalani hidup yang sia-sia. Karena itu, ia memutuskan untuk memaafkan penduduk desa itu dan orang-orangnya. Mereka akhirnya menjadi sahabat.


"Oh, Batu. Terima kasih. Hatimu sama besarnya dengan tubuhmu. Kau memang keras, tetapi itulah yang membuatmu kuat dan mampu melindungi orang lain. Satu lagi, akan kutunjukkan sesuatu padamu." Penduduk desa itu berjalan mendekat dan menginjak batu itu.


"Kau bukanlah halangan. Kau adalah tempat di mana orang dapat melangkah dan melompat ke tingkat kehidupan yang lebih tinggi. Kaulah yang membuat orang melihat dunia lebih tinggi dari sebelumnya," jelas penduduk desa itu.


Batu itu menangis bahagia.

Saat itu, ia tahu hidupnya berguna dan bermakna. Indah dengan caranya sendiri.



-TAMAT-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Happy birthday Gagas!

Perempuan yang Menanggung Dunia dan Seisinya: Bukit Kesengsaraan

REVIEW BUKU SEMUA IKAN DI LANGIT: MENGENAL TUHAN DALAM SOSOK BELIAU