BIRU & JINGGA: Pergi (Part 2)
Credit: Concept art – Kajsa Råsten |
Jingga
Yogyakarta, 12 Januari 2018
Kisah cinta kami baru saja dimulai.
Tapi, orang itu sudah harus pergi; dalam artian meninggalkan tanpa
meninggalkan. Dia harus pergi meninggalkan Jogja tapi tidak meninggalkan orang
Jogja yang dicintainya. Wajar tidak kalau saya berharap salah satu orang Jogja
yang tidak ia tinggalkan itu adalah saya?
Malam ini dua hari sebelum hari
keberangkatan Biru. Dia sengaja datang ke kos saya entah membawa apa dalam
kantong kresek. Untuk ukuran mantan playboy,
bisa dibilang dia memang benar-benar tidak romantis. Namun, saya justru suka
ketidak romantisannya itu.
“Ngga, tunggu saya, ya!” Biru
tiba-tiba buka suara setelah kami menuntaskan makan bungkusan kresek yang
ternyata berisi nasi goreng. Air mukanya sangat serius, sama seperti hari dia
mengakui perasaannya.
Saya tidak sanggup menjawab apa-apa.
Hati saya justru sakit. Kata-kata Biru lebih terdengar seperti kalimat
perpisahan. Pisah yang tidak bisa ditunggu lagi sampai kapanpun.
“Ngga, kamu mau, kan? Tunggu saya di
sini, di Jogja!” tambah Biru.
Pertanyaan Biru itu lantas saya jawab
dengan anggukan karena saya benar-benar tidak bisa bersuara. Saya ingin
menunggu Biru sampai saya mati, tapi kenapa hati saya mengatakan kemungkinan
bahwa Biru bukanlah tipe orang yang bisa ditunggu.
“Ngga, setahun lagi pas saya pulang,
nanti kita ke pantai bareng, ya. Oh ya, kamu mau oleh-oleh apa? Mau saya
bawakan tenun ikat?” sambung Biru.
“Bir, saya hanya minta hati kamu,”
jawab saya.
“Jingga, tanpa kamu mintapun hati saya
sudah milik kamu dari lama.” Biru lalu menggenggam tangan saya erat sekali.
Malam ini saya benar-benar tidak ingin
melepas Biru pergi.
[. . .]
Biru
Malaka, 15 Februari 2018
Jarak Jogja – Malaka saat ini benar-benar menyiksa
saya. Ditambah lagi, saya bukanlah orang yang rajin berkabar daring. Begitu
pula dengan Jingga. Kami adalah tipe manusia yang memegang gawai saat malam
tiba, ketika pekerjaan kami sudah selesai. Tak jarang saat saya menyapa Jingga,
perempuan itu sudah lelap karena kelelahan bekerja seharian. Oh, ya, Jingga
bekerja di sebuah penerbit di Bantul, Yogyakarta. Sedangkan aku adalah seorang
guru produktif SMK yang sedang merantau ke sebrang pulau. Ketidak cocokan waktu
kerja kami membuat saya dan dia harus berjuang agar bisa mengerti satu sama
lain. Tidak masalah tidak ada pesan masuk setiap jam. Tidak masalah tidak
berbincang via telepon setiap malam. Kami hanya mengandalkan rasa percaya bahwa
aku dan dia baik-baik saja.
“Bir, seperti apa langit Malaka? Apa
lebih indah dari langit Bukit Bintang di Jogja?” tanya Jingga suatu malam, saat
kami tersambung dalam panggilan telepon.
“Kamu mau jawaban jujur apa jawaban
gombal, Ngga?” Saya menggoda perempuan itu sambil membayangkan ekspresinya yang
kesal saat saya mulai menggombal.
“Jujurlah, Bir. Saya tidak mempan sama
gombalan kamu,” jawabnya.
Saya tertawa. Lalu memberikan jawaban
yang terdengar jujur tapi tetap agak gombal.
“Langit Malaka ramai bintang-bintang,
Ngga. Kamu sini, ya? Nanti, saya tunjukkin ke kamu bintang favorit saya.”
“Kirimi saja saya foto bintang favorit
kamu itu. Saya belum ada rencana pergi jauh dari Jogja,” tambahnya.
Saya menghela napas. Jingga dan Jogja,
apa dia sebegitu sayangnya dengan kota itu?
“Tidak bisa, harus kamu sendiri yang
lihat.”
Jeda sejenak di antara kami. Suara
angin di padang sabana tempat aku mendapat sinyal mendominasi suara gemuruh di
sambungan telepon.
“Bir, saya takut,” ucap Jingga
tiba-tiba.
“Kenapa? Ada hantu di kamar kostmu?”
Saya mencoba bereaksi sewajar mungkin dengan ketakutan yang baru saja perempuan
itu katakan.
“Saya lebih takut kehilangan kamu
dibandingkan hantu di kostan, Bir,” timpal Jingga. Suaranya lemah tapi serius.
“Ngga, cuma raga saya saja yang ada di
Malaka, hati saya tetap di Jogja. Ada di kamu. Kamu tahu itu.” Saya mencoba
menenangkan Jingga.
“Tidak akan berubah, Bir?” tanya
Jingga.
Kami kembali diam. Saya kebingungan.
Apa saya sanggup menjanjikan perempuan yang saya cintai ini masa depan?
Dengan gamang saya menjawab, “Kita
usahakan sama-sama, ya, Ngga.”
Jingga diam. Mungkin ragu. Pun dengan
saya, tidak yakin dengan diri saya sendiri. Apa mungkin?
[. . .]
Jingga
Yogyakarta, 1 Juni 2018
Lima bulan setelah kepergian Biru. Jogja masih
terasa sama buat saya, tapi tidak tahu kalau untuk Biru. Semoga dia tidak
menemukan tempat yang lebih istimewa di hatinya selain Jogja. Yha, walaupun
Jogja dan dia jaraknya berkilo-kilo meter.
Sepekan
ini pekerjaan saya benar-benar banyak. Biru juga mulai jarang mengirim pesan.
Mungkin ia juga sibuk dengan dunianya di sana. Akhir tahun pelajaran sekolah
yang terkesan banyak libur justru adalah waktu paling sibuk dalam satu tahun.
Biru pernah mengatakan itu pada saya.
“Bir,
kamu baik-baik, kan di sana?”
Teman
sekantor saya bahkan sampai hafal mati kalimat itu. Di tengah pekerjaan saya
menyortir buku-buku dalam gudang, saya selalu berandai-andai kalau saya sedang
berbicara dengan dia.
“Birumu
itu mungkin sampai panas telinganya setiap hari kamu panggil-panggil terus dari
Jogja!” celetuk Fira, teman kerjaku siang itu.
Kami
tertawa. Lalu saya menjawab, “Hei, kamu masih saja percaya mitos anak SD, Fir.”
Saya menggeleng-gelengkan kepala.
“Ngga,
Ngga! Biru harus tahu seberapa bucin kamu
sama dia,” tambahnya lagi.
Jangan!
Saya ingin sekali berteriak kepada Fira. Tapi, urung. Saya hanya tersenyum lalu
melanjutkan kalimat saya dalam hati. Jangan sampai Biru tahu saya mencintainya
sampai ingin mati. Saya takut persaan saya justru akan membuat orang itu
terbebani. Biar saya saja yang tahu bahwa Biru adalah satu-satunya orang yang
ingin saya bagi hari tuanya. Kalau ia mau, tentu saja.
Malam
ini, saya berencana menelepon Biru. Tidak tahu apa nanti akan tersambung atau
tidak. Tapi, rindu saya sudah kelewat batas. Walaupun anehnya, mengobrol lewat
telepon justru membuat saya semakin rindu. Cinta memang gila atau menakjubkan?
Mungkin keduanya.
Panggilan
pertama berdering. Biru tidak menjawabnya. Mungkin sedang tidak memegang gawai.
Tapi, saya senang karena tahu mala mini kemungkinan mendengar suara Biru akan
terwujud. Saya berencana menceritakan tokoh novel dari seorang penulis yang
juga benama Biru. Ia pasti akan antusias mendengar cerita saya tentang tokoh
itu.
Saya
menekan lagi nomor kontak Biru. Berdering. Lalu, terdengar suara. Biru
mengangkat panggilan telepon saya.
“Bir...,”
sapa saya riang.
“Hai,
Ngga!” jawab Biru di ujung sana.
“Bir,
kamu jadi tokoh novel!!” Saya antusias bercerita.
Bir, dari sini bintangnya terlihat lebih bagus.
“Ngga,
bentar, yah.”
Biru
mematikan telepon.
Saya
mematung.
Saya kira orang yang kamu ajak melihat bintang di
Malaka itu saya, Bir.
[. . .]
Biru
Malaka, akhir Mei 2018
Senja.
Saya tidak sedang membahas tentang langit petang, melainkan nama gadis itu. Dia
adalah rekan saya di tempat kerja. Suatu hari, saya melihat Senja sedang tergopoh-gopoh
membawa dua jiriken kecil. Malaka, daerah penempatan kami, memang bisa dibilang
belum begitu mudah untuk mengakses air bersih. Sehingga, kami harus berjalan
jauh setiap hari mengambil air untuk memasak, mandi dan lain sebagainya. Jadi,
sebenarnya sangat biasa melihat orang berlalu lalang membawa tampungan air
untuk dibawa ke rumah, termasuk Senja.
Namun,
hari itu berbeda. Senja berjalan dengan susah payah menyeret kakinya. Sesekali
beristirahat sambil meringis seperti kesakitan.
“Senja,
kenapa kamu?” tanyaku sambil menghampirinya yang sedang duduk di pinggir jalan.
“Kakiku
sakit, Bir. Sepertinya terkilir.”
“Boleh
saya lihat, Nja?” tanya saya meminta izin.
Senja
mengangguk menyetujui permintaan saya. Lantas, saya pelan-pelan memegang kaki
Senja.
“Aduh...”
Senja mengaduh. Kakinya sepertinya benar-benar sakit.
“Iya,
Nja. Kakimu terkilir.” Saya mengambil slayer yang kebetulan selalu saya bawa di
kantong celana. Lalu, dengan berbekal pengetahuan mountaineering, saya membebat
kaki senja.
“Tahan,
ya. Bakalan sedikit sakit,” jelas saya.
Senja
hanya meringis menahan sakit.
“Terima
kasih, Biru,” ucapnya mencoba tersenyum.
Saya
mengangguk.
“Bisa
jalan?” tanya saya lagi.
“Bisa,”
jawabnya.
Senja
lalu mecoba berdiri dengan tetap menenteng dua jiriken air berharganya. Namun,
tubuhnya ambruk. Kakinya tidak bisa menopang tubuhnya.
“Saya
antar kamu sampai rumah, ya?” Saya berinisiatif.
Senja
diam. Sepertinya, ia sedang menimbang-nimbang untuk menolak atau menerima
tawaran saya.
“Kamu
bawa motor?” tanyanya lagi.
“Saya
gendong kamu sampai rumah. Jirikennya ditinggalin dulu nggak papa, ya?” timpal
saya melirik jiriken yang sekarang jatuh di tanah. Permukaannya kotor karena
remebesan air yang tercampur dengan debu kering.
Senja
melotot kaget. Tapi, sepertinya tidak punya pilihan lain selain menerima
tawaran saya.
Sore
itu, saya menggendong perempuan lain. Dalam hati, saya merapalkan maaf
berkali-kali untuk perempuan istimewa saya di Jogja, Jingga.
Jingga,
percayalah ini bukan apa-apa. Saya hanya menolong tidak lebih.
Tentu saja,
peristiwa ini tidak akan jadi topik bahasan sesi telepon saya dengan Jingga.
Sekali
lagi, maafkan saya Jingga.
Saya
membenarkan posisi gendongan saya. Sepanjang jalan itu, baik saya maupun Senja
tidak ada yang berani buka suara.
[. . .]
Komentar
Posting Komentar