BIRU DAN JINGGA : PULANG (Part 1)
Biru
Yogyakarta, 3 Desember 2018
Hari
ini saya pulang. Seharusnya, saya merasa senang. Tapi, kenyataan bahwa saya
harus bertemu orang itu, justru membuat saya bimbang. Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan.
Toh, dia sudah mengetahui semuanya. Apa perlu saya tambah lagi luka hatinya
dengan mengulang cerita itu dalam versi saya? Tidak. Menjelaskan hanya akan
membuatnya lebih sakit.
Kadang
saya pikir, orang yang bersikeras memberi penjelasan sebenarnya adalah orang
yang sedang membela diri. Tidak mau disalahkan atas semua yang terjadi.
Bertindak seolah-olah dirinya korban. Lalu, tiba-tiba merasa menjadi pihak yang
paling terluka.
Di
satu sisi, saya juga tidak bisa diam begitu saja, bukan? Banyak orang
mengartikan diam sebagai bentuk persetujuan. Dia juga akan sakit kalau saya
hanya diam. Lalu, saya harus bagaimana?
Mau
bagaimana pun saya, di akhir cerita dia tetap saja terluka.
Tiba-tiba,
pulang ke Jogja bisa seperih ini. Saya frustasi.
[.
. .]
Jingga
Yogyakarta, 8 Desember 2018
Lima hari yang lalu dia pulang. Satu
tahun, kami tidak bertemu. Terlepas dari apa yang terjadi dua bulan terakhir,
jujur saya sangat merindukan orang itu. Kemarin, dia menelepon. Ingin bertemu.
Entahlah. Bisa jadi dia juga merindukan saya, atau mungkin juga tidak. Selalu
ada banyak sekali kemungkinan dalam hidup, termasuk kemungkinan tentang
perasaan orang itu.
Saya
hanya bisa berdoa saat kami bertemu nanti, saya tidak akan menangis lagi.
Terlalu berharga wajah itu untuk saya lihat dalam bulir air mata. Siapa tahu
hari ini adalah kali terakhir kami bertemu. Dan, saya tidak ingin wajah yang
begitu saya rindukan itu terlihat kabur karena air mata.
Hari
ini hanya akan jadi bonus bahwa dia pernah menganggap saya istimewa. Tidak
lebih. Kami hanya akan berbincang seperti teman lama; saling menanyakan kabar
masing-masing tanpa perlu lagi saling repot peduli. Saling bertukar basa basi
standar lalu pulang ke rumah masing-masing. Kembali ke tempat semula. Dan,
semuanya selesai.
Tidak
akan ada lagi kesedihan hari ini, baik untuk saya atau pun untuk orang itu.
Taksi
online pesanan saya menepi di sebuah kafe di pinggiran kota Jogja. Sembari
keluar, saya melirik alroji di tangan saya. Pukul empat. Lagi-lagi saya datang
terlalu awal dari waktu yang ditentukan. Seakan memberi kesan, bahwa jika untuk
dia saya bersedia menunggu berapa pun lamanya. Seolah sayalah yang terlalu
antusias untuk pertemuan ini. Apa saya serindu itu?
Begitu
masuk ke kafe, saya sengaja memilih area luar mengingat kebiasaan merokok orang
itu. Sebetulnya, dia belum pernah benar-benar merokok di depan saya. Pernah
suatu waktu, saya berkata bahwa saya tidak keberatan berbagi racun dari asap
rokoknya. Tapi, ia menggeleng. Lalu menjawab, “Saat bersama kamu, saya tidak
butuh lagi nikotin untuk bahagia.”
Saya
tersenyum. Orang itu benar-benar berpengalaman dengan wanita. Seharusnya, saya
dulu berhati-hati. Tapi, semuanya terlambat dan anehnya saya tidak menyesal
pernah tersenyum mendengar cerita-ceritanya.
“Saya
sudah tahu kamu akan datang lebih awal.” Suara itu memecah lamunan saya.
“Biru?
Kk..kamu dari kapan?” Saya gagap. Kaget melihat kemunculan sesosok manusia yang
tiba-tiba sudah duduk di sisi depan meja saya.
“Apa
kabar?” tanyanya.
Saya terdiam sejenak. Bingung.
Pertanyaan itu menjebak. Haruskah saya berkata bahwa saya baik-baik saja?
Padahal, dia pun tahu saya masih sakit seperti dua bulan yang lalu. Haruskah
saya jujur kalau saya kecewa dan terluka? Lalu, dia akan kaget dengan jawaban
saya. Sebab, pertanyaan itu sebenarnya hanya basa-basi pembuka cerita. Sedang
saya, sudah terlanjur mengutarakan isi hati ketika belum genap lima menit
mendengar suaranya. Ini tidak adil. Bahkan pertanyaan sesederhana itu pun tidak
bisa saya jawab kalau itu dari dia.
“Jingga, hei... kamu kenapa?” Dia terlihat
khawatir dengan kediaman saya.
“Pertanyaanmu terlalu sulit, Bir.
Boleh saya tidak menjawab pertanyaan kamu yang ini?” Suara saya bergetar.
Sorot matanya berubah. Seakan saya
sudah membawa suasana yang sebenarnya tidak ingin ia jamah sore ini. Tidak.
Bahkan belum lima menit, tapi rindu sudah kalah dimakan amarah. Saya memang separah itu, Bir.
“Saya mau ajak kamu ke suatu tempat,”
sambung Biru.
“Kemana?” tanya saya.
“Laut.”
Biru
menggenggam tangan saya. Lalu, menuntun saya keluar dari kafe yang sudah lebih
ramai dari pertama kali saya datang. Pukul empat lewat tujuh menit. Tangan saya
berada dalam tangan Biru. Pun hati saya. Sore ini, Biru kembali memasangkan
helm untuk saya pakai. Tersenyum manis seperti setahun lalu. Tangannya refleks
menepuk-nepuk kepala saya yang sudah terlindung helm. Sore ini, saya tiba-tiba
pasrah menyerahkan semuanya pada takdir. Mungkin ini memang kali terakhir.
[.
. .]
Biru
Yogyakarta, 8 Desember 2018
Kisah cinta yang paling sedih bukanlah
cinta yang bertepuk sebelah tangan. Melainkan, kisah cinta dua manusia yang
saling menyayangi satu sama lain tapi sadar mereka tidak akan pernah menjadi
kita. Dua manusia malang itu lalu hidup berbekal rasa sayang masing-masing.
Tanpa pernah tahu bahwa cinta berbalas pun nyatanya masih bisa membuat sakit
sedemikian dalam.
Jelas, saya tidak ingin kisah ini
menjadi kisah sedih. Kami tidak perlu saling menyayangi kalau hanya untuk
memberi rasa sakit. Saya tidak rela kalau perempuan ini menjalani jenis cinta
yang justru berbalik menyerang hatinya sendiri. Terlebih, semua itu karena
manusia seperti saya.
Hari ini, saya kembali menggenggam
tangannya. Rasanya aneh. Setahun lalu, saya merasa sangat bahagia saat jari
kami bertaut. Tapi, tidak dengan hari ini. Semakin erat genggaman tangan kami,
justru semakin nyeri pula ulu hati saya. Bahkan saat sedekat ini dengan dia,
saya tetap tidak bisa berbuat apa-apa.
Jingga,
perempuan itu, melepaskan genggaman kami begitu sampai di tempat parkir. Tapi
nyeri di ulu hati saya tidak ikut hilang. Sore ini, saya akan mengajaknya ke
laut. Seperti janji saya satu tahun yang lalu.
Satu
jam sudah motor saya menderu, tapi kebisuan di antara saya dan Jingga justru
terdengar lebih bising. Jingga, gadis itu memberi jarak pada jok motor di
antara kami. Sebenarnya, bukan hal aneh setelah semua yang terjadi bukan? Tapi,
manusia ini; saya, masih merasa kecewa. Seharusnya, gadis ini memeluk saya dari
belakang. Memasukkan telapak tangannya pada saku jaket saya. Lalu, sepanjang
perjalanan kami bergurau tentang apa saja. Sesekali, saya akan mengelus
punggung tangannya lembut sembari memandang wajahnya yang terlihat dari kaca
spion. Saya menghela napas. Rem motor saya berdecit menghentikan roda.
“Saya
bukakan, ya!” Saya menghentikan tangan Jingga yang akan membuka helm.
“Kamu
tidak perlu bersikap sepeti ini sama saya, Bir,” jawab Jingga.
“Nggak,
papa. Saya senang, Ngga.” Saya menyahut.
“Saya
tidak.” Jingga menepis tangan saya, membuka helm dan meletakkannya di atas
spion.
Jingga
berjalan menjauh menuju pantai. Saya mengekor di belakangnya, ingin meraih
tangannya lagi. Manusia seperti saya
memang tidak tahu diri, Ngga.
Saat kamu sesakit ini pun, saya masih tidak bisa
menahan kerinduan saya.
Jingga berbalik. Menatap saya. Langkahnya terhenti.
“Biru, saya minta penjelasan.”
[. . .]
Bagus dah lanjut part 2 wkwk
BalasHapusJosss ..Lanjuttt
BalasHapus