Di Antara Ombak

 

“Sekali minum air Mandar, maka ia selamanya adalah orang Mandar.”

Langit Polewali Mandar menyambut Ambar bukan dengan pelangi, tapi dengan peluh. Ia datang bukan sebagai pahlawan bersorban merah putih, melainkan sebagai guru biasa, lulusan universitas negeri di Yogyakarta yang dulu dipenuhi mimpi. Jakarta mengutusnya dengan surat tugas yang tampak seperti formalitas, tapi bagi Ambar, itu adalah tiket menuju peran yang lebih besar dari sekadar mengajar—mungkin juga menyentuh kehidupan. Ia hanya membawa satu hal: harapan.

Sekolah itu berdiri di tepi waktu. Dindingnya separuh beton, separuh semangat. Murid-muridnya datang tanpa seragam yang seragam. Mata mereka tajam, bukan karena kritis, tapi karena lapar akan sesuatu yang tak mereka pahami. Ambar berdiri di depan kelas, mencoba menyapa dengan Bahasa Inggris. Suara angin lebih mendapat respon. Di sudut ruangan, ada Fikri—bocah kurus dengan mata yang penuh tanya, duduk seperti sedang menanti kapal dari negeri asing.

Ambar tak menyerah. Ia tahu, pendidikan bukan sekadar mengisi otak, tapi menyentuh hati. Ia ajak Fikri dan teman-temannya belajar di luar kelas—di bawah pohon kelapa, di tepi laut, di tanah garam yang lebih jujur daripada ruang guru. Di pantai Garrasi', tempat perahu tua bersandar, Ambar menunjuk ke sebuah perahu bertuliskan Pammase Puang—Restu Tuhan. “This is a boat,” katanya. Fikri menjawab, “It is... God’s boat?” Ambar mengangguk. Ia tahu, anak ini paham jauh lebih dari sekadar grammar.

Waktu berjalan seperti ombak: datang dan pergi, kadang menghantam, kadang membelai. Fikri mulai menunjukkan kemajuan. Ia menulis dalam buku lusuhnya: “I want to go to Java. I want to be a teacher.” Di luar, dunia debat soal pendidikan 5.0, sementara di sini, listrik masih kalah cepat dari ayam berkokok. Ironis, memang. Tapi kata Pak Anies Baswedan, "Pendidikan bukan untuk mencerdaskan yang sudah cerdas, tapi menyelamatkan yang hampir putus asa."

Pada suatu siang yang terik, seorang ibu guru mengundang Ambar makan siang di rumahnya. Ia menghidangkan sepiring loka anjoroi—pisang mentah direbus dalam santan, disajikan bersama ikan bolu panggang dan sambal mentah yang aromanya menusuk hidung. “Ini... pisang?” tanya Ambar ragu. “Iya, makan pakai sambal enak,” jawab si ibu sambil tersenyum. Ambar sempat bingung. Pisang dan sambal adalah duet rasa yang bahkan Yogyakarta tak pernah bayangkan. Tapi satu suapan cukup untuk membuatnya jatuh hati. Rasa gurih, asin, dan pedas itu seperti sapaan hangat laut yang jujur dan apa adanya.

Setiap senja, Ambar punya ritual: duduk di pantai, menatap cakrawala yang pelan-pelan memerah seperti hati yang sedang belajar mengikhlaskan. Langit Sulawesi, baginya, tak pernah berbohong. Ia pernah berkata, “Langit di sini seperti lukisan yang lupa dihapus Tuhan. Warnanya jujur. Dan tiap senja, rasanya seperti pelukan.” Di langit itulah, ia banyak menuliskan isi hatinya. Tentang murid, tentang rumah, tentang luka, dan kadang tentang rindu pada Yogya yang jauh tapi tak lagi memanggil.

Namun seperti biasa, kemajuan tak pernah datang tanpa pertarungan. Ambar ditawari pindah ke kota—gedung baru, gaji lebih besar, AC, dan internet tanpa jeda. Tapi ia menolak. “Saya belum selesai di sini,” katanya. Kata sebagian orang, itu bodoh. Tapi bagi Ambar, meninggalkan tempat ini berarti meninggalkan anak-anak yang dunia telah lupakan. Dan ia tak tega menjadi bagian dari yang melupakan.

Ia percaya, mengajar bukan sekadar pekerjaan—ia adalah panggilan. Mengajar adalah menanam benih di tanah yang mungkin tak subur hari ini, tapi bisa tumbuh menjadi hutan pengetahuan di masa depan. Mengajar adalah membangun peradaban, bata demi bata, melalui kata demi kata. Dan meski bangunan itu tak selalu tampak dari kejauhan, ia akan terasa oleh generasi yang belum lahir.

Pendidikan di desa adalah tentang bertahan di medan perang tanpa peluru. Tentang mengajar sambil memadamkan api kebosanan, ketakutan, dan ketidakpercayaan diri. Ambar tahu, ini bukan tentang seberapa tinggi nilai siswa, tapi seberapa kuat mereka bermimpi. Dan Fikri adalah buktinya: anak kampung yang mulai percaya bahwa dunia tak berakhir di ujung dermaga.

Suatu pagi, surat undangan lomba Bahasa Inggris datang dari kota provinsi. Fikri diminta mewakili sekolah. Ia gemetar. “Saya belum bisa, Bu.” Ambar tersenyum, lalu berkata, “Ketakutan adalah tanda bahwa kamu sedang tumbuh.” Fikri ikut lomba itu. Ia tak menang, tapi ia pulang dengan rasa percaya diri yang tak bisa dibeli di toko buku mana pun.

Fikri mulai jadi panutan. Ia mengajarkan teman-temannya, bahkan membantu guru lain mengetik surat di komputer tua sumbangan Dinas. Ia juga mulai menabung untuk bisa kuliah. Ketika banyak anak kota kehilangan arah karena gadget, Fikri malah sedang mencari arah menuju pelabuhan impian.

Suatu hari, ia menyelipkan surat untuk Ambar. “Bu, kalau saya sukses nanti, saya ingin kembali. Karena saya tahu, tempat ini masih butuh orang-orang yang mau bertahan.” Ambar membaca surat itu di pantai, sementara matahari perlahan menyentuh ujung air. Laut pun seakan ikut menahan air matanya.

Di tengah segala kesunyian, dunia luar tetap gaduh: tentang ranking PISA Indonesia yang tak kunjung naik, tentang guru-guru yang demo menuntut kejelasan status ASN. Ambar hanya menghela napas. “Lucu ya,” gumamnya, “kita bicara revolusi industri, padahal di sini revolusi lampu saja belum selesai.”

Ambar tak butuh tepuk tangan. Ia hanya ingin anak-anak seperti Fikri tahu, bahwa mereka layak untuk punya mimpi, meski tinggal di peta yang sering di-zoom out terlalu jauh. Ia percaya, pendidikan bukan menciptakan robot penghafal, tapi manusia pembelajar yang tahu ke mana arah hidupnya.

Kutipan Paulo Freire terngiang dalam benaknya: "Education does not change the world. Education changes people. People change the world." Dan Ambar tahu, jika satu Fikri berubah, maka sebuah dunia kecil telah bergeser.

Kini, Fikri tengah bersiap merantau. Ia akan kuliah di Jawa. Bukan karena nasib baik, tapi karena ada guru yang percaya padanya. “Fikri,” ujar Ambar saat mengantarnya ke pelabuhan kecil, “talentamu terlalu berharga untuk kamu simpan sendirian. Merantaulah. Saya tunggu di Jawa, ya.” Fikri mengangguk, menyimpan kalimat itu di hatinya seperti kompas.

Garrasi’ kembali sunyi, hanya ditemani perahu tua bertuliskan Pammase Puang. Tapi Ambar tahu, restu Tuhan tidak pernah benar-benar pergi. Ia tinggal dalam setiap kata, setiap mimpi, setiap jejak kaki yang pernah berjalan menjauh, untuk suatu saat kembali membawa cahaya. “Sekali minum air Mandar,” bisiknya, “maka ia adalah orang Mandar.”



Pesan Moral:

Kisah ini mengajarkan bahwa mengajar bukan sekadar pekerjaan, tetapi panggilan jiwa untuk membangun peradaban dari pinggiran; bahwa harapan bisa tumbuh di tempat paling sunyi, ketika seorang guru memilih bertahan, mencintai, dan menyalakan lentera di hati murid-muridnya—sebab satu kata yang tulus, bisa mengubah arah hidup seseorang selamanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Tale of A Stone (English Version)

🌊The Boy Whose Heart is an Ocean 🌊

KISAH SEBUAH BATU (VERSI INDONESIA)